SUARA USU
Opini

Obral Gelar Honoris Causa Pada Politikus Hingga Koruptor

Penulis: Valeshia Trevana

Honoris Causa adalah pemberian gelar sarjana yang memenuhi syarat kepada seseorang, tanpa orang tersebut mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan-nya tersebut.

“Honoris Causa” berasal dari bahasa latin, yang artinya “demi kehormatan”. Doktor Honoris Causa adalah gelar buat mereka yang dinilai berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Gelar ini sangat istimewa, mereka yang mendapatkan gelar ini tidak perlu menempuh persyaratan akademis seperti gelar doktoral pada umumnya. 

Orang pertama yang mendapatkan gelar ini adalah Lionel Woodvile, Kepala Chapter Gereja Katedral di Exeter, Inggris, Universitas Oxford pada tahun 1479. Di Indonesia, Soekarno menjadi salah satu tokoh yang banyak dapat gelar Doktor Honoris Causa.

Praktik pemberian gelar Doktor Honoris Causa sendiri sudah berlangsung lama di Indonesia. Gelar ini banyak diberikan pada para politikus atau pejabat publik. Pemberian gelar ini sering kali jadi instrumen balas budi untuk membangun jaringan, serta perjanjian politik. Praktik ini memang rawan dijadikan alat kepentingan politik, serta tidak adil kepada mahasiswa doktoral yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk belajar dan melakukan penelitian demi gelar tersebut.

Secara administrasi, pemberian gelar ini memang harus melewati beberapa mekanisme yang cukup berat, karena harus mendapat persetujuan dari berbagai pihak. Aturannya ada dalam Permenristekdikti nomor 65 tahun 2016. Namun pada praktiknya, mekanisme itu sering kali diciderai. Pada akhirnya gelar ini dijadikan sebagai alat transaksi kepentingan politik.

Seperti pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Mantan Presiden Megawati Soekarno Putri yang dilakukan oleh Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jawa Barat pada tahun 2018 lalu. Padahal dalam aturannya, gelar ini dapat diterima seseorang dengan minimal pendidikan S1. Megawati sendiri tidak pernah menyelesaikan pendidikan sarjananya.

Komisi Kompenen Ahli yang memberikan gelar tersebut juga terdiri dari Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) dan Kepala Polisi Republik Indonesia (POLRI) ketika Megawati menjabat.

Hal tersebut dapat menjadi bukti bahwa pemberian gelar ini memang rawan transaksional, ajang balas budi dan pemenuhan janji politik. Politisasi pemberian gelar Doktor Honoris Causa dapat menciderai marwah universitas. Bahkan universitas tersebut akan diragukan kredibilitas dan integritas-nya.

Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, Rektor Universitas Negeri Semarang memberi gelar Doktor Honoris Causa kepada eks menteri ketua umum PSSI, politikus Golkar, Nuridin Halidin.

Pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Nurdin Halid diprotes oleh mahasiswa yang menggelar aksi demo pada 11 Februari 2021. Mahasiswa menilai bahwa Nurdin tidak pantas diberikan gelar kehormatan tersebut karena pernah tersangkut kasus korupsi. Ia pernah menyelundupkan gula impor, koruptor distribusi minyak goreng dan melanggar kepabeanan impor beras Thailand.

Nurdin juga dikenal sebagai sosok kontroversial selama menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Dari 2003 hingga 2011, PSSI justru kerap dirundung berbagai masalah. PSSI mengalami masalah pengaturan skor, kasus internal, hingga dibekukannya sepak bola Indonesia oleh FIFA. Prestasi tim nasional Indonesia pun tidak menunjukkan prestasi yang mencolok.

Selain itu, Rektorat UNNES tak pernah menggelar uji publik terhadap kemampuan akademis Nurdin. Karena itu, pemberian gelar Doktor Honoris Causa untuk Nurdin pun mendapat penolakan.

Bahkan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) juga sudah melayangkan surat teguran kepada rektor UNNES terkait kontroversi pemberian gelar tersebut. Surat itu dilayangkan karena pemberian gelar itu dinilai tidak etis, meskipun tidak melanggar peraturan tertentu. Pihak Dikti menyarankan agar kampus memasukkan pertimbangan etika dan moral dalam pemberian gelar Doktor Honoris Causa.

Gelar Doktor Honoris Causa semestinya diberikan kepada sosok yang benar-benar inspiratif, bukan sosok yang kontroversial. Seleksi pemberian gelar yang tidak transparansi itu melahirkan dugaan ada motif politik di baliknya.

Pemberian gelar tersebut semestinya dipertimbangkan dengan lebih jeli, serta berdasarkan landasan moral dan etika yang tinggi. Sebab kampus adalah pendidik yang menyuarakan sesuatu yang bersifat objektif.

Redaktur: Yulia Putri Hadi


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Intip Risiko Dibalik Gaji Angggota KPPS Yang Menggiurkan

redaksi

Vaksinasi Terlaksana tapi Perpustakaan Tak Kunjung Dibuka

redaksi

Budaya Mencatat dalam Era Perkuliahan Digital, Apakah Menghilang atau Bertahan?

redaksi