SUARA USU
Opini

Penyangga Pangan Tatanan Negara Indonesia (Petani), Kok Dicibir?

Oleh : Rizky Fahira dan Suranti Pratiwi

“Aku sih mau buka bisnis gitu di bidang pertanian kek start up lah,” tutur Ikhmal

“Jadi menteri pertanian. Bisa memproduksi yang berguna bukan hanya untuk bangsa, tapi untuk perut manusia dan kehidupan jangka panjang manusia,” timpal Caesar

“Jadi konsultan pertanian yang bisa sampe keluar negeri. Biar mereka tau petani itu gak rendah malah itu kunci utama kehidupan manusia. Karena sejauh ini kita belum pernah dengar kan seorang konsultan pertanian sampai ke luar negeri dari Indonesia,” tambah Juwita

Pengen jadi penyuluh pertanian. Biar bisa bungkam omongan orang yang bilang ‘alahh jadi petani gaperlu kuliah , tinggal ke ladang aja dah bisa. Gemes deh sama yang suka ngomong gitu,”susul Kirana menanggapi.

Begitulah ragam tanggapan mahasiswa mahasiswi Agroteknologi dalam menyuarakan cita cita mulia mereka. Terdengar menggebu dan penuh ambisi, sudah sepatutnya mereka sebagai aset masa depan pangan negeri diberi apresiasi dan dukungan moril.

Namun dalam paradigma masyarakat yang terjadi malah bertolak belakang. Jika ditelisik pada pernyataan yang dilontarkan Kirana, faktanya masih ada saja stigma buruk publik terhadap dunia pertanian. Tidak jarang mahasiswa pertanian disapa cibiran tak mengenakkan dan tatapan menyepelekan. Pertanian yang terkesan “Jorok dan Miskin”, selalu identik dengan ketidakberdayaan dan masa depan yang suram.

“Pernah, salah satunya ‘kok masuk pertanian, mau ngapain emang disana, gadak apa-apa nya. Padahal pertanian sebenarnya bidang yang paling hebat, ga pernah mati, ga pernah hilang. Walaupun zaman udah maju, tapi makanan masih tetap tumbuh dari tanah,” tutur Yeremia

Suka tidak suka, pemikiran kolot ini masih berseliweran hingga saat ini. Dianggap tidak bergengsi, mahasiswa pertanian pun bertekad membungkam opini publik dengan kontribusi dan prestasi seperti yang diungkapkan Wini.

“Ya justru itu, dengan masuk pertanian, aku mau stigma itu hilang. Gak sadar apa negara kita negara agraris? Kalo petani dianggap pekerjaan remeh, kek mana nasib negara kita ke depan? Mau di kemanakan lahan lahan kita yang sebegitu luas? Orang asing yang kelola? Helooo…. ini negara kita, ya kita harusnya yang berjuang. Aku mau belajar, biar bisa mengusahakan tanah yang kita punya ini,” tuturnya.

Lalu bagaimana sih sesungguhnya kontribusi pertanian? Benarkah sektor pertanian memiliki prospek kerja menjanjikan?

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan telah berhasil menyerap tenaga kerja hingga 38,78 juta orang atau setara 29,59 persen. Petani yang merupakan singkatan dari Penyangga Pangan Tatanan Negara Indonesia (Bung Karno, 1952) menjadi sektor penyerap tenaga kerja paling banyak selama Februari 2021. Tidak hanya itu, sektor pertanian turut menjadi penyumbang devisa negara. Angka sementara, PDB sektor pertanian pada triwulan I 2019 mencapai Rp3,7 triliun, di mana tanaman perkebunan menyumbang Rp106,95 miliar.

Kepada Suara USU, Muhammad Dava Wasyahdhana, mahasiswa Agroteknologi yang baru saja melaksanakan sidang akhir memberikan argumennya. Founder Kita Pertanian itu mengatakan bahwa mindset masyarakat harus diubah melalui step by step.

“Mungkin kelihatannya aktivitas pertanian itu harus nyangkul-nyangkul sawah kemudian juga kepanasanan, dan lain sebagainya. Tetapi, coba kita ubah pola mindset itu menjadi ke arah yang lebih baik, misalnya melalui bisnis pertanian, bisnis pertanian inilah yang belum terlalu diedukasikan. Melalui bisnis pertanian, bahkan dalam satu bulan aja  dapat menghasilkan profit milyaran gitu. Nah itu yang banyak orang tidak mengetahuinya, yang hanya dilihat orang kan secara langsung di lapangan, tetapi tidak mengambil peran-peran yang mungkin lebih besinergi, lebih besar lagi gitu. Nah jadi bukan setelah dari pertanian kita menjadi seorang sarjana aja, enggak! Tetapi, pertanian kita bisa memberikan ya sumber kehidupan yang lebih besar lagi, kalo misalkan teman-teman lebih memperhatikan bisnis pertaniannya ke arah yang lebih baik,” tutur nya saat di wawancarai Suara USU, pada Minggu(28/11).

Ia juga menambahkan, “Untuk orang-orang yang masih mempunyai stigma, bahwasannya pertanian ini apa ya, tidak bagus-lah dan lain sebagainya, mungkin kesan dan harapannya, yang pertama  jangan malu dan gengsi untuk menjadi bagian dari pertanian sedangkan kita hidup itu dari hasil pertanian, yang kedua bergerak bersama dengan pemuda hebat lainnya tidak mustahil untuk mengangkat derajat petani sebagai pahlawan pangan, dan yang terakhir jika anak muda acuh tak acuh dengan pertanian, saya khawatir di masa depan kebutuhan pokok kita akan sangat sulit untuk kita dapati artinya negeri ini akan dilanda kelaparan berkepanjangan,” pungkasnya.

Dalam kesempatan berbeda, cerita menarik datang dari Ilham Bendang, alumni Fakultas Pertanian dengan masa studi 1995-2000. Ilham yang saat ini disibukkan dengan mengelola perusahaan miliknya yaitu CV. Bendang Sukses Jaya mengungkap fakta berbeda mengenai stigma pertanian di masyarakat.

“Di zaman abang tidak ada stigma buruk dengan pertanian, malah mahasiswanya terkenal kompak. Apalagi di Sumatera Utara, banyak perkebunan perkebunan besar, orang tua akan bangga kalau anaknya bisa bekerja di perkebunan. Sarjana pertanian banyak bekerja di perkebunan, perusahaan peternakan, perusahaan pupuk, pestisida,  benih, bahkan banyak juga bekerja di Bank, finance dll. Teman satu stambuk abang juga sudah banyak yang jadi kepala cabang bank swasta atau pun Bank BUMN,” tuturnya.

Semasa bertitel sebagai mahasiswa pertanian, Ilham merupakan aktivis kampus yang turut menorehkan berbagai prestasi salah satunya pernah menjadi utusan FP USU ke Kendari dalam pertemuan nasional forum kerjasama mahasiswa Agronomi. Pendiri UKM Himadita Nursery ini mengakui bahwa organisasi menjadi wadah aktualiasi diri dan peningkatan skill. Di mana hal ini menjadi bekal untuk kehidupan pasca sarjana. Karena menurutnya bidang ilmu apa saja akan diberi tempat jika individu tersebut memiliki kualifikasi dan skill standar yang dibutuhkan perusahaan.

”Jadi tidak ada ilmu yang remeh dan diremehkan orang lain asalkan kita ahli di bidang tersebut. Mahasiwa FP juga sudah harus belajar bagaimana membuat nilai tambah tersebut.”

Baginya kekompakan dan solidaritas yang tertanam dalam diri civitas akademika pertanian merupakan suatu privillage, karena dari hal ini antara satu dengan yang lainnya saling membantu baik saat menempuh studi maupun saat berjuang menghadapi kerasnya kehidupan pasca sarjana.

“Jangan jadikan kampus FP jadi menara gading. Tapi jadikan kampus FP sebagai tempat masyarakat mencari solusi,” ujarnya sebagai closing statement.

 

Redaktur: Yulia Putri Hadi

Related posts

Kebersihan Kampus: Jadi Tanggung Tawab Bersama, Bukan Monopoli Cleaning Service

redaksi

Pulang Pergi Setiap Hari: Gaya Hidup dan Tantangan Mahasiswa Komuter

redaksi

Buka Bersama, Ajang Silahturahmi atau Hedonisme?

redaksi