Penulis: Misuki Awanda dan Divina Marsya Azzahra
Suara USU, MEDAN. Jokowi telah meresmikan nama untuk Ibu Kota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Nama ibu kota Indonesia yang baru itu adalah “Nusantara”. Peresmian nama Nusantara tersebut dilaksanakan pada Jumat (14/01/2022), sedangkan peresmian ibu kota negara baru akan dilaksanakan pada 2024.
Lalu apa sebenarnya alasan Jokowi memilih nama Nusantara sebagai nama ibu kota baru Indonesia? Sudah tepatkah nama Nusantara? Bagaimana dengan Jakarta? Hal apa yang membuat Jakarta tidak layak lagi untuk menjadi sebuah ibu kota Negara? Lalu berapakah anggaran yang diperlukan pemerintah untuk mewujudkan Nusantara sebagai ibu kota baru Indonesia?
Sebagaimana yang kita tahu bahwa pemindahan ibu kota negara sudah tentu membutuhkan anggran yang tidak sedikit, bahkan proyek ini disebut Megaproyek “Nusantara”. Apakah hal ini tidak menjadi beban APBN? Lalu bagaimana dengan pihak yang terdampak langsung dari proyek ini. Misalnya, warga dan masyarakat adat Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara atau ASN pemerintah pusat itu sendiri? Apakah benar ini adalah megaproyek oligarki yang mengancam keselamatan rakyat?
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, Nusantara dipilih sebagai nama ibu kota baru di Kalimantan Timur dengan alasan bahwa Nusantara adalah ikonik Indoneisa.
“Alasannya adalah Nusantara sudah dikenal sejak dulu, dan ikonik di Internasional, mudah dan menggambarkan kenusantaraan kita semua Republik Indonesia,” kata Suharso.
Benarkah nama “Nusantara” merupakan Indonesia banget? Sindung Tjahyadi salah satu dosen Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada sangat setuju dengan nama “Nusantara”. Ia mengungkapkan bahwa istilah Nusantara sendiri justru mempunyai makna historis yang kuat untuk Indonesia sehingga penamaan Nusantara juga dinilai sudah sangat mewakili keseluruhan dari wilayah Indonesia itu sendiri.
“Jadi, kalau kita belajar sejarah dan memahami sejarah, saya kira justru dengan sebutan Nusantara itu jangkar historis, kesadaran historis kita kuat. Daripada katakanlah, tiba-tiba ibu kota disebut sebagai Kalipura misalnya, wah itu mencari akar simbolik, akar historisnya dan sebagainya agak kesulitan,” tandasnya.
Apa yang disampaikan oleh sindung tentunya sangat sinkron dengan alasan Jokowi untuk memilih Nusantara sebagai nama ibu kota baru,
“Jadi, Nusantara itu sebuah konsep kesatuan yang bersedia mengakomodasi kemajemukan itu dan ibu kota kita Indonesia dengan nama itu mengungkapkan realitas ke-Indonesiaan kita,” tambahnya. Jadi jelas, bahwa nama Nusantara itu adalah Indonesia banget.
Kemudian bagaimana soal tepat atau tidaknya Nusantara sebagai nama ibu kota selain dari segi maknanya? dilansir dari kompas.com, dosen dan peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan UGM Rudy Wiratama menilai bahwa tepat tidaknya pemilihan nama ibu kota baru Nusantara tersebut merupakan hak prerogatif presiden, ”Kalau soal tepat atau tidaknya, saya kira itu adalah masalah prerogatif presiden dan musyawarah tokoh bangsa,” ujarnya.
Lalu bagaimana dengan Jakarta? Wacana pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta selalu muncul dan tenggelam dari berbagai masa pemerintahan. Bahkan, sejak awal presiden pertama Soekarno merasa Jakarta tak layak jadi Ibu Kota. Ia mengagas pemindahan ibu kota negara dari Batavia sejak di eranya. Tetapi berbagai usulan pemindahan itu selalu kandas. Namun, kenapa ibu kota sebaiknya dipindahkan? Apa yang salah dengan Jakarta dan segala kemewahannya?
Dilansir dari cnbcindonesia.com, ada 4 alasan mengapa Jakarta tidak layak lagi menjadi ibu kota Indonesia. Pertama, kemacetan yang selalu berkelanjutan. Hal ini berpotensi mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah setiap tahunnya. Kedua, banjir tahunan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, setiap tahun permukaan tanah Jakarta semakin turun dengan kecepatan 1-12 cm/tahun secara variatif di berbagai daerah. Maka dari itu, bila pembangunan terus dipusatkan di Jakarta fenomena ini akan berlanjut, banjir pun akan sulit untuk ditanggulangi. Ketiga, kepadatan penduduk. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017, tingkat kepadatan penduduk Jakarta adalah sebesar 15.366 jiwa/km2. Bila daya tarik perkotaan semuanya diserap oleh Jakarta maka kepadatan tentu akan meningkat. Jakarta yang dahulu bernama Batavia dibangun oleh Belanda sebagai kota pelabuhan untuk perdagangan dan hanya dirancang untuk menampung 600.000 jiwa. Namun kini, Jakarta harus menjadi rumah bagi lebih dari 10 juta jiwa, wah, sudah terbayang kan, sepadat apa dan seberisik apa kota Jakarta tersebut. Keempat, kualitas air semakin buruk.
Kita sebagai remaja dengan usia produktif melihat keadaan tersebut tidak akan siap melawan fenomena bonus demografi yang diprediksi di tahun 2030, dan sudah jelas jika permasalahan ini tidak segara ditanggulangi maka Indonesia merupakan negara yang tidak bisa mencapai 17 tujuan sdgs 2030 point ke-6, dan itu adalah salah satu dampak buruk dari sekian banyak dampak yang ditimbulkan akibat menurunnya kualitas air dan sanitasi yang kurang layak di Jakarta.
Kira-kira dalam pembangunan ibu kota baru, berapa besar anggaran yang diperlukan pemerintah dalam pembangunan tersebut? dilansir dari kompas.com, presiden pernah mengungkap bahwa pemindahan ibu kota setidaknya akan menelan anggaran hingga Rp 501 triliun, dan tentang benarkah APBN dibebankan? Mengutip informasi terbaru dari laman ikn.go.id, skema pembiayaan pembangunan ibu kota hingga 2024 akan lebih banyak dibebankan pada APBN yakni 53,3 persen. Sisanya, dana didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Kemudian, pada 2024 dan seterusnya, pembiayaan IKN akan ditingkatkan melalui investasi KPBU dan swasta.
Sebelum menyimpulkan bahwa megaproyek ini membebani APBN, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa belum ada keputusan dari pemerintah terkait persentase anggaran pemindahan IKN yang ditanggung oleh APBN. Namun, Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah bakal menggunakan sebagian dana dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun 2022 untuk pembangunan tahap awal IKN.
Lalu apakah megaproyek “Nusantara” ini mengancam keselamatan rakyat? Kritik terhadap proyek ibu kota baru salah satunya datang dari Koalisi Masyarakat Sipil. Koalisi menuding bahwa pemindahan ibu kota negara merupakan megaproyek oligarki yang mengancam keselamatan rakyat.
“Dana yang digunakan untuk mewujudkan pemindahan ibu kota, akan sangat lebih berguna apabila digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara (kesehatan, pendidikan, dan lain-lain) yang sedang mengalami kesulitan,” bunyi siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil, (20/1/2022).
Kalau kita pikir-pikir lagi, pemindahan ibu kota ini tak lebih dari proyek oligarki. Karena seperti yang kita tahu bahwa banyak pusat bisnis beberapa korporasi di sana yang wilayah konsesinya masuk dalam kawasan IKN. Jadi, sepertinya bukan hal yang baru bahwa ada sebagian koalisi yang mempunyai stigma seperti itu. Selain itu, banyak pihak yang terdampak langsung dari proyek ini baik itu warga dan masyarakat adat Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara. Kemudian para ASN pemerintah pusat yang selama ini tinggal di Jakarta hingga warga Sulawesi Tengah yang harus berhadapan dengan kerusakan lingkungan imbas proyek tambang di wilayahnya demi suplai infrastruktur dan tenaga listrik IKN.
Alasan Joko Widodo memilih 2 wilayah tersebut untuk dijadikan ibu kota baru adalah karena kecilnya risiko bencana alam dan lokasinya yang berada di tengah-tengah Indonesia. Di samping itu, diterbitkannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) cepat oleh pemerintah di awal rencana pemindahan ibu kota. KLHS dibuat setelah ibu kota baru ditetapkan di Kalimantan Timur, bukan sebelumnya. Sehingga, kajian itu tak memuat latar belakang mengapa Kalimantan Timur dipilih sebagai calon ibu kota baru, dan bukan wilayah lain. Dalam KLHS cepat itu pun terungkap potensi masalah lingkungan di kawasan IKN nantinya, mulai dari ancaman terhadap tata air, flora-fauna, dan pencemaran. Padahal, rencana pemindahan ibu kota berawal dari semakin ruwetnya masalah di Jakarta, baik dari segi daya dukung lingkungan maupun daya tampung, jadi dapat disimpulkan bahwa permasalahan di Jakarta harus segera diselesaikan di Jakarta, bukan malah meninggalkan permasalahan di Jakarta dan menciptakan masalah baru di Kalimantan Timur. Jadi sebenarnya pembangunan-pembangunan ibu kota baru bernama “Nusantara” ini untuk siapa?
Redaktur: Wiranto Asruri Siregar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.