SUARA USU
Entertaiment Sastra

Rumah

Penulis: Noviyanti Rahmadani

Suara USU, Medan. September tahun 2020, aku berkesempatan untuk menjadi pemeran utama pada projek film pendek yang di garap oleh temanku, Adi. Ini pengalaman pertamaku menjadi pemeran utama. Pada suatu hari, para talent dan crew berkumpul untuk briefing di kantor. Ternyata ada masalah, salah satu talent mengalami kecelakaan, yang ternyata adalah lawan mainku.

“Bang, gawat! Faiz kecelakaan, sekarang dia lagi di lariin kerumah sakit” ujar Yudha. “Astaga, terus keadaannya gimana sekarang? Parah?” ujar Adi yang terkejut.

“Lumayan bang, tangan kirinya patah. Kemungkinan dia gak bisa ngelanjutin projek ni”

ujar Yudha yang dapat info dari kakak Faiz.

“Yaudah, soal talent biar gue yang cari penggantinya”. “Oke bang, siap”.

Saat itu terlihat sekali wajah panik dan resah Adi, karena proses syuting minggu depan sudah harus berjalan. Dia menelfon beberapa orang untuk menjadi pengganti Faiz. Akhirnya, setelah belasan orang yang sudah dia telfon akhirnya ada yang bisa menggantikannya.

“Gue udah nemuin pengganti Faiz. Rin, besok temenin gue ketemu sama dia, sekalian

briefing dan kenalan juga”

“Iya Di” jawabku.

Keesokan harinya, kita bertemu di kedai kopi. Aku dan Adi datang bersamaan, ternyata dia seorang barista di kedai kopi itu. Sambutannya ramah dan ceria, seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu.

“Sombong banget, giliran ada butuhnya aja baru ngehubungin aku” ujar Kevin saat menyambut Adi.

Adi tertawa

“Engga gitu Vin.. akhir-akhir ini aku emang lagi sibuk banget ngurusin ni projek”

“Iya ah santai, bercanda kali Di”.

“Oh iya, kenalin ini temen aku” ujar Adi sembari melihat ke arahku. “Halo, Kevin” sapa Kevin sembari mengulurkan tangannya.

“Hai, Karin” aku menjabat tangannya.

Kali pertama aku bertemu dan berkenalan dengan Kevin, dia adalah sosok laki-laki yang ceria dan senang mendengarkan orang bercerita, termasuk ceritaku. Untuk aku yang baru berkenalan dengannya dia sangat ramah. Tidak ada kesan cuek pada dirinya tetapi dia tidak mudah di tebak. Tingkahnya yang asyik dan mudah bergaul dengan orang baru, tanpa disadari setelah mengenalnya kurang lebih seminggu dia hampir tidak pernah membicarakan dirinya kepada orang lain termasuk padaku.

Aku semakin dekat dengannya karena projek ini, mungkin karena kita dipasangkan dan sangat dibutuhkan chemistry yang kuat antar keduanya. Senang bisa bekerjasama dengannya selain karena mudah beradaptasi ternyata Kevin sangat pandai berakting, aku cukup terkejut melihat penampilannya dan aku banyak belajar darinya. Ya, lagi-lagi dia mengejutkan dengan hal-hal seperti ini ternyata dia pernah bekerja di salah satu industri kreatif yatu Production House di Bandung, makanya dia sangat khatam dengan hal-hal yang terjadi saat produksi. Dasar Kevin, manusia penuh misteri.

Projek ini berjalan kurang lebih 2 minggu, karena ada beberapa lokasi syuting yang cukup jauh dari kota terpaksa kami harus bermalam. Lokasinya berada di pedalaman desa yang sampai susah mencari sinyal. Aku satu mobil dengan Kevin dan ketiga crew lainnya kebetulan dia yang menyetir karena yang di dalam mobilnya perempuan semua. Aku duduk di sampingnya, menemani dia disaat yang lainnya tertidur. Untuk pertama kalinya dia membahas tentang dirinya sendiri, dia ternyata menyukai mobil-mobil sports dan salah satu impiannya adalah menjadi pembalap.

Ya, pembalap. Sudah tergambarkan ketika dia membawa mobil, ya sangat cepat. Dia bisa mengemudi mobil 140km/jam, aku cuma bisa terdiam karena dia cukup santai mengemudi karena hal itu aku tidak begitu panik dan tegang. Sesampainya kami disana kami beristirahat sebentar karena perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan. Setelah istirahat kami berkumpul untuk briefing dan latihan untuk besok pagi.

Adi membicarakan perihal prosedur untuk syuting besok setelah itu dilanjutkan dengan sesi latihan sampai tengah malam. Saat itu, aku sangat mengantuk, mungkin karena saat di perjalanan aku tidak tidur dan Kevin menyadari hal itu. Dia menghampiriku lalu bertanya.

“Rin, udah ngantuk ya?”

“Engga kok, Vin” jawabku.

“Engga gimana, mata kamu udah sayu gitu”

“Lagian udah tau malah nanya” jawabku dengan mata sinis.

Kevin tertawa

“Yaudah mau istirahat? nanti biar aku yang kasih tau Adi” “Gapapa nih?”

“Apa sih yang gak boleh buatmu Rin?”

Aku tertawa, aku sudah sering mendengar gombal tongkrongan seperti itu. Aku pergi meninggalkan Kevin dan bersiap untuk beristirahat. Oh ya, kita menginap di rumah nenek Adi jadi agak terbatas kamarnya. Aku memutuskan tidur di ruang tengah ramai-ramai bersama crew dan talent lainnya, ditengah-tengah tidurku aku terbangun karena kedinginan ternyata Kevin ada di sampingku dan sedang mengobrol dengan Adi dan crew lainnya. Dia melihatku kedinginan dan langsung melepas jaketnya dan memberikan jaketnya padaku dengan melemparnya ke arahku.

Dia memang sosok laki-laki yang cukup tinggi gengsinya, dia tidak ingin terlihat peduli. Padahal faktanya, setelah cukup mengenalnya dia adalah seseorang yang penyayang dan sangat peduli. Cuma dia tidak ingin orang-orang melihat sisi itu darinya, sangat aneh bukan? Di saat orang lain ingin terlihat baik dia malah ingin terlihat cuek. Dibalik kepribadiannya yang seperti itu, aku sangat tertarik dengan kehidupan pribadinya, entah karena dia adalah sosok yang misterius atau memang karena berteman dengannya sangat membuatku nyaman.

Keesokan harinya, aku memulai syuting dengan rasa semangat. Syuting ini tidak terlalu melelahkan karena tidak begitu banyak dialog untukku. Cukup menyenangkan karena lokasi syuting kali ini mempunyai pemandangan yang cukup indah, jadi semua lelahku terbayarkan dengan pemandangan cantik ini. Setelah selesai syuting, kami kembali kerumah dan bersiap untuk pulang ke kota.

Ini adalah hari terakhir kami syuting. Setelah penutupan, ternyata team crew harus menetap karena beberapa video footage hilang dan terpaksa harus take kembali esok pagi. Aku dan Kevin harus pulang, karena Kevin harus bekerja dan aku kuliah. Kami berpamitan kepada team crew dan kami pulang hanya berdua. Saat di perjalanan pulang Kevin menyetir dengan santai, tidak seperti saat kami berangkat.

“Tumben”

“Apa yang tumben?” tanya Kevin yang kebingungan.

“Tumben gak ngebut” jawabku sinis.

“Lagi pengen nikmatin perjalanan”

“Kamu kenapa pengen jadi pembalap? Triger-nya apa?” “Keren aja”

“Cuma itu?”

“Ya apa lagi”

 

Jawabannya singkat, padat dan jelas. Selama diperjalanan, aku cukup banyak berbincang dengannya. Aku banyak bertanya perihal kehidupannya, seperti pekerjaan dan kuliahnya. Ya, seperti dugaanku jawaban dia tidak membuat penasaranku hilang. Aku tidak memaksanya untuk bercerita, karena aku takut dia tidak nyaman dengan keberadaanku disini.

Setelah sampai kota, dia tidak langsung mengantarkanku pulang. Dia mengajakku keliling kota terlebih dahulu, sepertinya dia akan membicarakan sesuatu, entahlah. Aku terlalu takut, aku takut pertanyaan-pertanyaanku tadi membuat dia marah padaku. 10 menit kami terdiam, hanya ada suara dari lagu Pamungkas berjudul One Only. Tiba-tiba Kevin memanggilku dengan suara yang pelan.

“Rin” memanggilku dengan suara rendahnya. “Mm?”

“Aku boleh cerita?”

“Tentu, Ada apa?”

Kevin menceritakan tentang masa lalunya, dia menceritakan tentang keluarga sampai mantan pacarnya. Dia tumbuh dari keluarga yang kurang harmonis, dia bilang ini masalah ego manusia yang tidak ada habisnya. Aku cukup terkejut saat mengetahui hal itu, karena dia terlihat seperti baik-baik saja. Ternyata, hatinya sangat rapuh. Dia adalah korban dari ke egoisan orang tuanya, tapi aku sangat kagum dengannya karena dia masih berusaha dan berjuang walaupun banyak sekali masalah yang sedang di hadapinya. Saat itu, aku berhenti bertanya dan mendengarkan semua ceritanya dengan baik.

“Tapi, kenapa harus aku? Kenapa aku yang terpilih untuk mendengar cerita ini?” tanyaku dalam hati.

Aku tidak berani banyak tanya setelah dia menceritakan semuanya. Aku terlalu takut terlihat seperti ikut campur, aku hanya bisa memberi dia validasi bahwa dia sangat hebat dan kuat untuk bisa ada di posisi ini. Aku cuma bisa berharap akan terus menjadi temannya walaupun projek ini sudah selesai. Setelah dia bercerita akhirnya dia mengantarkanku pulang, lalu berpamitan.

“Rin, makasih ya” dengan nada rendahnya.

“Adanya aku yang bilang gitu, makasih ya Vin sudah anter sampe depan rumah hehe”

“Iya, makasih udah mau dengerin cerita aku, makasih juga udah nemenin keliling” “Yailah, santai aja kali Vin.. dengan senang hati ko”

“Nanti main-main ya ke kedai, jangan sombong”

“Siap bosss” sambil hormat kepadanya.

Setelah malam itu, aku baru sadar kita tidak bertukar sosial media. Tapi dua hari setelah itu dia mengikutiku di Instagram, ternyata pengikutnya cukup banyak. Tidak lama dari itu, aku mengikuti balik dan aku mengiriminya pesan singkat. Aku tidak berekspektasi bahwa pesan itu langsung di balas. Dia menyuruhku datang ke kedainya, karena posisiku pada saat itu sedang tidak ada kerjaan, akhirnya aku menghampirinya.

“Cappucino hot, no sugar ya”

“Siap bosss” sembari berhormat mengikuti gayaku malam itu.

Dia menghampiriku sembari membawa pesananku cappucino hot dengan gambar bunga tulip yang dia buat. Karena pada saat itu kedainya sedang sepi jadi bisa ngobrol dengan santai tanpa di ganggu pelanggan, walaupun ada satu dua pesanan yang harus dia buat tapi itu tidak jadi masalah. Kevin bercerita mengenai dirinya, dia sebut ini dirinya yang lain bukan dirinya yang sekarang sedang bercerita di hadapanku. Saat sedang hancur-hancurnya, dia tidak punya seseorang untuk bercerita, hati dan pikirannya tertekan sampai dia tidak bisa percaya pada orang lain.

Aku bertemu dengannya saat dia sedang berproses untuk menerima keadaan dan dirinya sendiri. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik, saat dia bercerita aku membayangkan ada di posisinya. Ya, memang menyakitkan jika aku berada di posisinya dan belum tentu bisa sekuat dirinya. Satu hal yang mengejutkanku, ternyata dia di vonis mengalami gangguan mental yaitu mental disorder oleh psikiater. Artinya, dia memang sudah di fase yang serius.

Aku berusaha untuk terlihat biasa saja dan tidak terkejut dengan faktanya. Setelah obrolan panjang dan serius itu, aku bertanya padanya kenapa dia bisa bercerita padaku karena aku tahu ini bukan masalah yang kecil dan pasti sulit untuk bercerita pada orang lain, kali ini dia menjawab cukup panjang dan detail. Saat pertama kali kita bertemu, ternyata dia sudah melihatku dari sisi yang berbeda. Feelingnya merasa bahwa akulah orangnya, orang yang bisa di jadikannya rumah dan tempat bercerita. Dia senang dengan gaya bicara dan tatapanku saat mendengarkankan dia bercerita, responnya alami dan tidak di buat-buat katanya.

Aku tersipu malu, karena dia bukan tipe orang yang suka memuji.

Sepertinya salah satu pertanyaanku sudah terjawab. Dan aku tidak masalah jika ku dijadikan rumah atau tempatnya bercerita, malahan aku sangat senang. Berarti aku mempunyai peran di hidup seseorang, yaitu Kevin. Aku ingin membantunya, bukan karena kasihan melihat keadaannya tapi aku yakin bahwa Kevin memang bisa sembuh.

Setelah pertemuan itu, aku jadi sering bertemu dengannya. Dua bulan berlalu. Aku cukup intens dengannya dua bulan terakhir, dia sering menemani dan membantu tugas kuliahku. Hubunganku dengan Kevin semakin kuat, hingga pada saat dimana dia mengajakku keluar tetapi aku menolak, ternyata dia kecewa dengan keputusanku.

Aku cukup terkejut kenapa dia bisa sekecewa itu, dia marah padaku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, setelah kejadian itu aku cukup menyesal dengan keputusanku. Dia tidak membalas pesanku dan juga tidak mengangkat telfon dariku, jujur aku sangat khawatir karena dia entah dimana dengan kondisi yang tidak stabil. Apalagi mengingat dia yang selalu ngebut-ngebutan di jalan.

Dia membalas pesanku sekitar jam 10 malam. “I’m okay..” jawabnya. Tidak lama dari itu dia mengirim foto dirinya yang sedang tidak baik-baik saja lalu tak lama di hapus kembali. Ya, dia menyakiti dirinya. Ternyata apa yang aku takuti selama ini terjadi, aku berusaha menenangi dia dari via telfon.

Aku berusaha menggali dengan pertanyaan-pertanyaan ringan agar tidak menyakiti dan dia pun tidak merasa terpaksa menjawabnya. Saat di telfon Kevin hanya menangis dan memaki dirinya sendiri, dia merasa bodoh karena tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Dia merasa bersalah karena menyeretku ke dalam masalahnya, aku hanya bisa menenangkannya setelah itu aku menyuruhnya untuk pulang. Ke esokan harinya aku bertemu dengannya di kedai, aku baru sadar kalo Kevin ternyata selalu memakai baju lengan panjang. Entah dia menyembunyikan lukanya atau dia memang senang memakai baju panjang.

Pada saat itu, aku menghilangkan pikiran negatifku dan tidak menerka-nerka hal yang membuat pemikiran aneh muncul. Seperti biasa dia terlihat seperti baik-baik saja. Ya memang, seseorang yang mengalami mental disorder memang seperti itu, ketika sedang stabil mereka memang cenderung terlihat baik-baik saja seperti tidak memiliki masalah, mereka menutup dirinya sekuat mungkin. Tapi tidak denganku, saat aku tahu dia mengalami mental disorder aku selalu berusaha melihatnya dari sisi lain, walaupun dia tidak menyukai hal itu. Dia tidak ingin dikasihani oleh orang lain, padahal tujuanku bukan karena mengasihani dia, tapi aku benar-benar peduli padanya.

Aku tersenyum dan menatap matanya di waktu yang cukup lama, aku mencerna semua perkataannya. Kehidupan masing-masing orang ternyata tidak selalu ditakdirkan seindah romansa. Opini itu melintas berkali-kali dalam otakku. Aku terus memandanginya yang mematung di hadapannya, dan Kevin menyadari hal itu. Dia langsung meneriakiku

“Hey, Karin!” aku langsung tersadar.

“Tidak apa-apa” jawabku.

 

Dari jawaban itu mungkin Kevin merasa ada sesuatu yang salah dariku. Dia penasaran tapi tak kunjung menemukan jawaban, yang pada akhirnya dia menyerah. Tak lama dari itu Kevin menunjukan luka yang semalam, ternyata lukanya sudah mengering.

”Sakit ya?” aku bertanya sembari memegang lukanya pelan-pelan.

“Engga ko” jawab Kevin.

“Bohong, masa iya gak sakit?”

Pertanyaanku membuat Kevin tertawa, aku tidak menyangka Kevin akan seterbuka ini padaku, dia menjelaskan rasanya ketika melukai diri sendiri, dia menjelaskan rasa sakit, penyesalan, kebencian semuanya menyatu dalam satu waktu dan dirinya tidak bisa mengontrol itu. Kevin tidak bisa melawan pikirannya sendiri saat itu, dia menjelaskannya sangat jelas. Makanya pada saat itu dia menelfonku karena memang harus ada yang menahan emosinya dan menjadi tempat untuk mengeluarkan semua keluhannya.

Setelah mengetahui hal itu ada beberapa perasaan yang muncul dalam benak hatiku, senang tapi juga sedih. Senang karena aku bisa bermanfaat baginya, menjadi tempat sekaligus rumah untuknya. Sedihnya, ada beban moril disini aku terlalu takut suatu hari akan terjadi sesuatu masalah yang besar jika aku tidak dapat mengatasinya. Karena hanya aku dan psikolognya yang bisa mengerti dan mengetahui posisi dia, keluarga dan teman-teman terdekatnya tidak tahu jika dia mengalami mental disorder.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikolog untuk bertanya-tanya sekaligus konsultasi mengenai cara mengontrol seseorang yang mengalami mental disorder. Karena, niatku memang ingin membantunya dengan tulus bukan karena mengasihani Kevin. Setelah konsul, psikolog memberi saran bahwa orang yang mengalami mental disorder memang hanya membutuhkan seseorang yang berpihak padanya, dan mereka butuh validasi. Dengan hanya menemani dan mendengarkan semua ceritanya sebenarnya itu sudah membantunya dalam mengelola emosinya karena ada tempatnya.

***

Suatu hari aku bertemu dengan teman Kevin disalah satu kedai kebetulan aku sedang bersama teman-temanku yang ternyata teman Kevin juga. Namanya Adit, ternyata dia sudah berteman dengan Kevin kurang lebih 8 tahun. Artinya dia lebih mengenali Kevin jauh sebelum dariku, aku bertanya-tanya mengenai Kevin di lingkungannya termasuk dengan keluarganya. Adit menceritakan mengenai keluarga Kevin yang memang memiliki masalah, dia juga menceritakan perihal lingkungannya. Dilingkungannya Kevin terkenal sebagai orang yang aktif dan memiliki banyak teman karena sikapnya yang memang humble dan friendly.

Adit juga bercerita bahwa dia memiliki seorang kakak perempuan yang berprofesi seorang psikolog, aku terkejut saat mendengarnya. Setelah mengetahui itu, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang kembali muncul. “Apa ini bisa menjadi cara untuk mempercepat penyembuhan Kevin?” mungkin selama ini keluarganya tidak tahu apa yang dialami Kevin dan merasa bahwa Kevin baik-baik saja termasuk kakaknya yang seorang psikolog. Aku mencari cara bagaimana aku bisa menghubungi kakaknya, aku tidak berani terang-terangan bertanya kepada Adit, aku takut dia malah curiga.

Setelah obrolanku bersama Adit, Keesokan harinya aku mencoba mendapatkan informasi mengenai kakaknya lewat sosial media Kevin. Walaupun, sepertinya peluangku kecil untuk bisa mendapatkan itu karena isi sosial media Kevin tidak pernah memposting mengenai keluarganya bahkan postingan di Instagramnya hanya ada dua foto, itupun foto kucing dan kopi. Tapi, aku tidak menyerah begitu saja, aku terus menggali informasi mengenai kakaknya lewat sosial media. Dan akhirnya setelah mencarinya kurang lebih dua hari, aku menemukan akun Instagramnya.

Namanya Kak Rachel, dia seorang psikolog yang bekerja di salah satu perusahaan besar di luar kota. Ketika sudah menemukan akun Instagramnya, hatiku menjadi bimbang. Aku takut keputusanku malah menjadi masalah besar nantinya. “Apa yang akan terjadi jika kakaknya mengetahui bahwa adiknya mengalami mental disorder?” pikirku. Dia pasti akan merasa gagal menjadi seorang psikolog.

Pikiranku sangat kacau, hatiku sangat bimbang. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada psikolog melalui aplikasi karena saat itu perasaanku sedang tidak karuan dan membutuhkan jawaban yang cepat. Setelah mendapatkan jawaban, aku langsung menghubungi Kak Rachel melalui Direct Message di Instagram. Pesanku tidak langsung dibalas pada hari itu, aku gelisah dan rencana-rencana yang sudah dibuat tiba-tiba hilang begitu saja. Tiga hari kemudian Kak Rachel baru membalas pesanku, sebelum membahas intinya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu kepadanya. Aku terkejut karena Kak Rachel tau padaku, katanya dia pernah melihatku di instastory Kevin.

Setelah itu, aku tidak langsung membahas intinya karena takut Kak Rachel sedang sibuk dan tidak ada waktu lagi. Aku membahas mengenai Kevin yang mengalami mental disorder dan sering melakukan self harm. Benar dugaanku, Kak Rachel sangat terkejut saat mendengarnya dariku, dia tidak menyangka bahwa adiknya mengalami hal itu. Setelah itu, Kak Rachel meminta aku bercerita secara langsung dan memintaku bertemu dengannya di weekend ini kebetulan minggu ini Kak Rachel akan pulang.

***

Akhirnya aku bertemu dengan kakaknya, tentunya tanpa sepengetahuan Kevin. Aku terpaksa berbohong padanya, aku memberi tahunya bahwa aku ada acara keluarga hari itu. Sebelumnya aku meminta maaf kepada Kak Rachel karena sudah ikut campur dalam masalah keluarganya, tetapi respon Kak Rachel membuatku merasa ini adalah keputusan yang benar. Dia merasa bersyukur karena ada yang memberitahunya sekaligus berterimakasih padaku karena sudah menjadi tempat berkeluh kesahnya, karena Kak Rachel sadar dan tahu betul itu bukan sesuatu yang mudah.

Kak Rachel sadar bahwa sepertinya memang ada yang berbeda dengan sikap adiknya. Setelah dari itu Kak Rachel menyampaikan pesan padaku untuk selalu mendampingi Kevin dan memberitahu Kak Rachel jika terjadi sesuatu dengan Kevin. Kak Rachel pun pelan-pelan akan membantu Kevin dari jarak jauh. Setelah pertemuan itu, hatiku sangat lega karena setidaknya ada yang bisa membantuku dalam proses penyembuhan Kevin.

***

Hubunganku dengan Kevin ternyata bertahan lebih lama dari yang di bayangkan, aku tidak pernah terpikirkan akan selama dan seintens ini dengannya. Yang pasti saat ini aku merasa nyaman dan tidak merasa terbebankan olehnya. Aku berusaha menjadi seseorang yang selalu ada untuknya dalam situasi apapun. Selama tiga bulan terakhir keadaan Kevin semakin stabil, perlahan-lahan dia membuka dirinya dan mencoba untuk menerima semuanya tanpa harus merasa bersalah dan satu hal yang membuatku merasa berhasil, dia sudah bisa mencoba berkomunikasi dengan keluarganya.

Situasi keluarganya sudah membaik sejak satu tahun terakhir. setelah mendapatkan informasi dari Kak Rachel dan cerita Kevin. Memang Kevin mengalami trauma pada masa kecilnya yang akhirnya membekas dalam pikirannya dan membuat dia takut dan sering menyalahkan diri sendiri dan yang lebih tragisnya, kejadian itu membuat Kevin susah percaya pada orang yang akhirnya dia sering memendam perasaannya sendirian. Emosinya tak tersampaikan, yang membuat dia akhirnya menyakiti dirinya sendiri.

Suatu hari, aku mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Ya benar, aku diperkenalkan oleh Kevin kepada keluarganya, keluarga besar. Aku tidak pernah memikirkan ini sebelumnya, tidak pernah terpikirkan sama sekali dalam otakku. Lucunya, saat bertemu dengan Kak Rachel kita terlihat seperti orang yang baru pertama kali bertemu. Keluarganya menyambutku dengan sangat baik, aku tidak pernah menyangka keluarga yang aku lihat dan yang menyambutku sangat baik ini memiliki cerita masa lalu yang cukup rumit tapi mereka dapat survive dari permasalahan tersebut.

 

Aku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari proses perjuangan Kevin melawan traumanya, walaupun belum 100% Kevin dinyatakan sembuh, tapi keadaannya sekarang jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk menemani Kevin dan sama-sama berjuang. Aku berharap akan terus menjadi seseorang yang bermanfaat dan tidak melihat seseorang dari satu sisi. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang di alami oleh seseorang, setidaknya jika tidak bisa membuatnya sembuh maka tidak perlu membuat luka baru.

 

Ini artinya mengakui bahwa pada akhirnya semua manusia adalah bagian dari dunia dan semesta yang sama, dan karenanya tidak semestinya kita membedakan orang, apalagi sampai mendiskriminasi dan menyakiti orang tersebut. Kita sebagai manusia memiliki kewajiban berbuat baik kepada orang lain sampai menembus lingkup keluarga, suku, agama, bangsa bahkan mencakup seluruh manusia. Dari cerita ini mengajarkan kita untuk menginterpretasikan peristiwa negatif sebagai ujian dan berkesempatan untuk menjadi lebih baik.

Redaktur: Salsabila Rania Balqis

Related posts

Puisi: Kala Itu

redaksi

Ambisi

redaksi

Yang Harus Dilindungi (Bagian 3)

suarausu