Oleh: Fenita Pandiangan
Suara USU, Medan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas merupakan sebuah film bertajuk drama aksi yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Eka Kurniawan, salah satu sastrawan paling terkenal di Indonesia pada tahun 2014. Film garapan sutradara Edwin yang berdurasi 115 menit dan digolongkan khusus bagi penonton minimal berusia 18 tahun ini berhasil mendapatkan penghargaan Golden Leopard dalam ajang Festival Film Internasional Locarno 2021.
Film berlatar 1980-an ini mengisahkan tentang sang tokoh utama Ajo Kawir (Marthino Lio) yang mempunyai rahasia tentang penyakit impotensi yang dialaminya. Bermula dari trauma masa kecil bersama sahabatnya Tokek (Sal Priadi), yang mengintip seorang perempuan dengan gangguan jiwa bernama Rona Merah (Djenar Maesa Ayu) tengah diperkosa dua oknum polisi. Bahkan, Ajo Kawir pun juga dipaksa untuk bergabung dalam pemerkosaan itu.
Untuk mempertahankan maskulinitasnya ditengah keadaan impotensi, Ajo Kawir hadir menjadi sosok yang memiliki hasrat besar untuk terus bertarung dan tak takut mati. Hingga suatu hari, Ajo Kawir bertemu dengan petarung perempuan tangguh bernama Iteung (Ladya Cheryl) yang merupakan pengawal penguasa incarannya. Ajo Kawir dibuat babak belur oleh Iteung, hingga menjadikan Ajo Kawir jatuh cinta padanya.
Namun, ditengah manisnya hubungan mereka, Ajo Kawir merasa khawatir karena kekurangan yang dimilikinya. Hingga suatu hari, Ajo Kawir mengungkapkan rahasia tersebut dan secara tak terduga ternyata Iteung bersedia menerimanya dengan segala kekurangannya tersebut karena merasa yakin dengan perasaannya sendiri. Keyakinan ini akhirnya membuat Ajo Kawir dan Iteung menikah.
Setelah membangun rumah tangga, ternyata muncul Budi (Reza Rahadian) yang menaksir Iteung. Hubungan mereka mulai terganggu saat Budi hendak merebut Iteung dari Ajo Kawir. Tak sekedar merebut, Budi juga berniat mempermalukan Ajo dengan mendirikan bisnis minyak lintah yang diklaim dapat menyembuhkan impotensi.
Impotensi hadir dalam alur cerita bukan hanya sebagai satu konflik yang harus dihadapi sang tokoh utama, melainkan sebuah sindiran bagi sebuah tatanan sosial dimana gambaran kejantanan begitu diagungkan. Seperti yang digambarkan pada karakter Ajo Kawir, yang demi menutupi kelemahan seksualnya lantas menempatkan dirinya sebagai sosok petarung yang siap untuk menghadapi siapapun yang mau melawannya.
Gambaran akurat akan sebuah konstruksi maskulinitas yang dangkal dimana kejantanan sesosok lelaki hanya dipandang dari kemampuannya untuk menaklukkan lawan jenisnya atau keberhasilannya untuk menyakiti atau menyingkirkan para pesaingnya.
Film ini menghadirkan berbagai bentuk kritik sosial dan politik dalam sejumlah plot ceritanya. Deskripsi akan berbagai arogansi kekuasaan serta tindakan represif dan otoriter yang dikenal menjadi ciri pemerintahan rezim Soeharto dihadirkan melalui karakterisasi sejumlah karakter dengan latar belakang militer yang hadir di linimasa pengisahan.
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.