SUARA USU
Sastra

Si Sulung yang Sempurna

Penulis: Azka Zere

Pukul 7 pagi, cahaya mentari masih setia menyinari jendela rumah yang ditinggali lelaki ini, berharap diberi izin memasuki kamarnya. Namun nyatanya, lelaki itu masih enggan bangun dari bunga tidurnya. Entahlah, kejamnya dunia memungkinkan ia masih terlelap di pagi yang cerah ini.

“Bang Ga, bangun!” teriak adiknya, Alana.

Ya, lelaki itu Nelangga Hanendra, yang kerap disapa Angga. Putra sulung yang telah kehilangan sosok ayah sedari kecil. Seiring berjalannya waktu, ia beranjak dewasa, beban yang dipikulnya semakin berat sebagai satu-satunya lelaki di keluarganya. Memaksanya untuk selalu kuat, selalu bisa diandalkan dan dituntut untuk menjadi sempurna. Seakan semua harapan berada di tangannya. Terlebih lagi, ia juga harus bekerja membantu keuangan keluarga, karena keuangan mereka yang tidak terlalu baik. Mau tidak mau, keadaan memaksanya untuk serba bisa.

“Iyaaa, ini udah bangun,” sahut Angga setengah sadar yang masih memeluk guling kesayangannya.

“Abis mandi, langsung turun, Bang!” teriak Alana, lagi.

“Ck, dasar bawel,” decak Angga yang tidak menghiraukan Alana.

Dengan berat hati dan sedikit ocehan, Angga melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, bersiap untuk kuliah. Tebakanmu pasti Angga berkuliah di universitas ternama, bukan? Ya, benar sekali. Sejak ayah Angga tiada, sang ibu bertekad memberi pendidikan terbaik untuk anak-anaknya, walaupun keuangan keluarga mereka tidak terlalu mumpuni.

Atas usaha dan doa, Angga berhasil masuk ke universitas ternama tersebut. Ya, tentu saja dengan melewati banyak lika-liku. Mulai dari sang ibu yang selalu menuntut nilai sempurna, cemooh orang yang remeh terhadapnya, dan masih banyak lagi. Angga berusaha tak ambil pusing semua itu. Ia mencoba berfikir positif, walau nyatanya perkataan negatif itu kian berkecamuk di kepalanya dan secara tidak langsung menguras banyak energi.

“Pulang kuliah, langsung ke tempat kerja. Jangan keluyuran kemana-mana, Nelangga,” ujar wanita paruh baya itu yang masih sibuk menyiapkan sarapan di meja makan.

“Iya, Bu, nanti Angga langsung ke sana,” jawab Angga sambil menuruni anak tangga.

“Yang terakhir keluar, jangan lupa kunci pintu. Cek kompor, udah mati atau belum. Jangan lupa matiin semua lampu. Ibu kerja dulu, kalian nanti langsung pulang ke rumah,” pesan ibu sembari merapikan pakaian dinasnya yang berwarna kuning kecoklatan.

“Iya, Bu. Hati-hati di jalan,” ucap Angga dan Alana bersamaan.

***

Tepat pukul 12 siang, kelas terakhir Angga di semester ini telah usai. Lebih tepatnya ujian akhir semester yang telah usai. Di penghujung semester, biasanya Angga akan mengalami sedikit kecemasan, menimbang-nimbang apakah hasil ujian kali ini akan memuaskan? Apakah akan sesuai dengan ekspetasi? Sejujurnya, ia tidak mau berharap banyak. Namun, dengan tuntutan sang ibu yang harus memiliki nilai sempurna, memaksanya untuk berharap banyak. Ibunya selalu mengatakan, jika ia memiliki nilai sempurna, maka ia akan sukses. Tentu saja sebagai seorang anak yang selalu diandalkan, ia tidak mau mengecewakan sang ibu. Namun kadang kala di hati kecilnya, ia merasa sedikit lelah dengan label “sempurna” yang dipaksakan ibunya.

“Bang, es kelapanya satu, ya,” ucap Angga sambil menaikkan telunjuknya yang menandakan angka satu.

Teriknya mentari memaksanya menepi membeli sesuatu yang menyegarkan. Es kelapa menjadi pilihan favorit bagi Angga, kala dahaga menghampiri. Ia menghabiskan minumannya dalam seteguk. Pertanda kerongkongannya benar-benar terasa kering.

Butuh waktu 10 menit untuk sampai ke kedai kopi tempat Angga bekerja selama enam bulan terakhir. Walau hanya sebagai barista yang memiliki penghasilan standar, Angga sudah sangat bersyukur bisa mendapat pekerjaan itu. Lagi pula, pekerjaan apa yang diharapkan mahasiswa yang belum lulus dan tidak memiliki pengalaman?

“Eh, baru pulang kuliah, ya, Ga? Langsung masuk ke dalam aja,” sapa manajer muda sekaligus pemilik kedai kopi ini yang tidak pernah absen menyapa Angga dengan ramah.

“Iya, Mas, baru pulang kuliah. Saya ke dalam dulu, ya, Mas. Permisi,” jawab Angga tak kalah ramah, yang dijawab pun hanya tersenyum mengangguk.

***

Dua minggu telah berlalu sejak berakhirnya ujian akhir semester. Pagi kali ini, mentari enggan menampakkan dirinya. Seakan mendukung suasana hati Angga. Dengan napas memburu, mahasiswa semester lima itu membuka perlahan hasil transkrip nilai yang ia tunggu sejak dua minggu lalu. Sebelum melihat hasilnya, Angga berjalan ke dapur untuk meminum seteguk air, mencoba menenangkan diri. Cukup lama berdebat dengan dirinya sendiri, akhirnya ia meyakinkan diri untuk segera membukanya. Angga menatap transkrip nilai itu dengan mata melebar. Ia membeku, tanda tak percaya. Berharap ada keajaiban, Angga mencoba membukanya sekali lagi. Namun, nihil. Huruf–huruf di ponsel pintarnya tak berubah sama sekali. Seakan menegaskan memang ini hasilnya. Ia mengusap wajahnya dengan gusar. Ibu pasti kecewa, batinnya sambil tertunduk lemas.

Cukup lama Angga berdiam diri di kamarnya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mencari udara segar. Rasanya terlalu sesak berada di ruangan ini sendirian. Ia butuh teman untuk berbagi, pikirnya. Diambilnya ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja, mencari kontak yang biasa ia hubungi, Nanda. Salah satu teman yang paling ia percaya di antara beberapa temannya. Setelah menemukannnya, segera ia menghubungi Nanda. Nanda tahu, putra sulung ibu Ani ini jarang sekali bercerita padanya. Ia sedikit tertutup. Jika ia ingin bercerita, itu pertanda Angga benar-benar butuh untuk didengarkan.

“Iya, tempat biasa kan? Gue otw,” ucap lelaki di seberang sana.

Setelah menunggu 20 menit, akhirnya Nanda sampai. Dilihatnya Angga yang sibuk memainkan pipet di gelasnya, sampai-sampai tidak menyadari kedatangan dirinya.

“Woiii!” teriak Nanda yang mengejutkan Angga.

“Lo tuh kalo dateng, ngomong kek atau apa kek,” ucap Angga sedikit kesal. Tentu saja mood-nya sedang tidak baik-baik saja hari ini.

“Ya, terus tadi gue ngapain? Salto?” canda Nanda berusaha mencairkan suasana.

Angga hanya diam, tidak ingin melanjutkan percakapan.

“Yaudah terus kenapa, bro?”

“IPK gue turun, buat yang pertama kalinya,” ucap Angga tertunduk lemas.

Nanda terkejut mendengar lelaki yang selalu mendapat IPK 4 ini mengatakan IPK-nya turun. Itu sesuatu yang tidak mungkin. Mengingat sikap ibunya yang selalu menuntut nilai sempurna.

“Kayanya fokus gue pecah gara-gara gue sambilan kerja. Gue capek kali, ya?” tanya Angga.

Yang ditanya hanya tertawa sarkas, “Lo nanya gue? Ga salah, nih? Coba lo jujur sama diri lo sendiri, Ga. Lo itu juga manusia, ga bisa selalu kuat, ga bisa selalu merasa bisa semua. Lo ga sempurna. Manusia ga ada yang sempurna, Nelangga.”

Angga terdiam, mencoba mencerna perkataan Nanda. Karena selama ini yang tertanam di otaknya adalah ia harus kuat, ia harus sempurna.

“Gue paham lo anak sulung, gue juga paham lo ga mau ngecewain ibu lo. I mean, siapa sih yang mau ngecewain orang tua sendiri? Bahkan, gue yang ga bener gini aja masih punya cita-cita buat banggain orang tua. Mungkin ibu lo cuma mau yang terbaik buat lo, walau caranya terlalu keras. Harusnya lo berdua coba ngomongin ini. Ga sehat kalo semua lo pendam sendiri, bisa-bisa lo jadi sakit,” jelas Nanda.

Lagi dan lagi, Angga masih terdiam di kursinya. Selagi mencerna perkataan Nanda, ponselnya berdering. Nama ‘Ibu’ tertera di sana, tetapi Angga enggan mengangkat ponselnya. Ia teringat pada kejadian 4 tahun silam. Saat itu nilai rapotnya turun dan sang ibu memarahinya habis-habisan. Ia takut kejadian itu terulang lagi hari ini. Dirinya masih belum siap.

Nanda masih ingin melanjutkan ceramahnya, “Jangan pernah benci diri lo sendiri atas kegagalan yang terjadi. Gagal itu wajar. Oke, mungkin itu ga ada di kamus ibu lo, tapi itu kenyataannya. Kalau lingkungan sekitar ga mendukung, seenggaknya lo masih punya diri sendiri. Sayangi diri lo, Ga. Nggak semua hal selamanya bakal berjalan mudah. Lo pasti tau dong? Tapi inget, ga semua hal juga selamanya berjalan dengan sulit. Iya, ibu lo ngelakuin ini biar lo sukses. Tapi inget lagi, sebaik apa pun rencana manusia, tetap Tuhan yang menentukan. Mending lo pulang, Ga. Istirahatin pikiran lo.”

Thanks, bro. Gue duluan, ya,” ujar Angga pelan, berusaha bangkit meninggalkan Nanda.

“Sip, kalo ada apa-apa, japri gue aja!” sahut Nanda sambil menepuk pundak Angga, memberi energi padanya.

Biasanya butuh waktu 20 menit untuk sampai di rumah Angga. Namun, kali ini karena perasaan yang tak karuan, bisa dipastikan Angga akan sampai di rumah kurang dari 10 menit. Perasaan marah, lelah, sedih, kecewa bercampur aduk menjadi satu. Ia kalap mengendarai motornya dengan kecepatan maksimal, seakan melampiaskan amarahnya pada jalan raya yang tak tahu menahu. Dengan kecepatan maksimal seperti itu, Angga tidak akan menyadari perubahan lampu hijau di persimpangan yang berubah menjadi lampu merah. Dalam hitungan detik, kecelakaan itu tak bisa dielakkan. Motor Angga sudah dipastikan hancur. Sedangkan tubuhnya yang terlempar jauh dikelilingi banyak orang yang menatapnya iba. Kasihan ya, padahal masih muda, begitu kira-kira kata mereka yang mengelilinginya.

***

Sudah lima hari Angga terbaring tak sadarkan diri di ranjang putih beraroma alkohol ini. Di sampingnya, ada orang yang hanya menatapnya sendu dengan rasa bersalah yang memuncak. Dalam lubuk hatinya, orang ini mendoakan Angga lekas pulih. Ah jangankan lekas pulih, sang ibu hanya berharap putra sulungnya bangun dari tidur panjangnya.

Lima hari yang lalu, ibu Angga terkejut bukan main saat mendapati telepon yang mengatakan anaknya mengalami kecelakaan. Ia panik. Sangat panik. Dadanya sesak membayangkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tidak. Membayangkannya saja sudah menakutkan bagi ibu Angga. Ia tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi untuk yang kedua kali. Rasanya, kehilangan ayah Angga saja sudah cukup menyakitkan. Saat sampai di rumah sakit, orang yang pertama ditemui ibu Angga adalah Nanda. Mau tidak mau, Nanda menceritakan apa yang selama ini Angga coba sembunyikan dari orang yang melahirkannya ini. Dunianya runtuh saat tau kenyataannya. Tangisnya pecah. Ia tidak tahu kalau anaknya begitu tersiksa karena dirinya sendiri. Yang ia inginkan hanyalah yang terbaik, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Ma-maaf… Ibu…,” ucap Angga tiba-tiba yang meyadarkan ibu dari lamunannya.

Yang dipanggil justru memanggil orang lain, “Dokter! Dokter! Dokter!” teriak sang ibu sambil menekan berkali-kali tombol merah yang berada di atas ranjang putih tempat Angga berada.

Setelah lima hari, akhirnya Angga bangun dari tidur panjangnya. Sedikit menyakitkan saat kata pertama yang diucapkannya adalah kata maaf. Mendengar hal itu, ibunya hanya menggeleng tanda tak setuju, seraya diam-diam menahan sesak yang teramat sangat. Kali ini, ibu Angga yang meminta maaf.

“Ibu udah dengar semuanya dari Nanda,” ucap ibu dengan air mata yang berderai, “Kehilangan ayah kamu udah cukup buat Ibu tertekan. Sejak kejadian itu, yang Ibu pikirkan cuma anak-anak Ibu harus sukses, walaupun tanpa seorang ayah. Maaf kalau cara Ibu terlalu keras. Maafin Ibu belum bisa jadi Ibu yang baik. Maafin Ibu, ya, Nelangga.”

“Maafin Angga juga, ya, Bu. Maafin Angga belum bisa jadi putra yang baik buat Ibu,” ucap Angga yang masih bisa membendung air mata-nya.

Ibunya hanya mengangguk dan segera menarik Angga kepelukannya, “Kalau ada apa-apa, sekarang kamu bisa cerita ke Ibu. Jangan takut lagi, ya, Nelangga.”

Akhirnya, air mata Angga tak dapat dibendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan sang ibu. Ia bersyukur, setelah sekian lama, akhirnya dapat merasakan kelegaan yang teramat sangat. Dadanya terasa lebih ringan, seakan beban yang menghimpit dadanya diangkat perlahan. Dalam benaknya, ia setuju dengan Nanda, bahwa manusia tak ada yang sempurna.

Thanks, bro” batin Angga tersenyum mengingat perkataan Nanda yang lalu.

 

Penyunting: Zukhrina Az Zukhruf

Related posts

Bunyi Weker

redaksi

Yang Harus Dilindungi (Bagian 1)

suarausu

“Tentang Jejakmu di Bawah Hujan”

redaksi