Oleh: Jesika Yusnita Laoly
Suara USU, Medan. Julukan “ilmu selamat“ kerap dilekatkan pada seorang mahasiswa yang terkesan acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya, kurang bergaul, dan lebih memilih untuk tenggelam dalam dunianya sendiri, sebenarnya mencerminkan sebuah realitas yang jauh lebih dalam pada lingkungan akademik. Sikap apatis yang mendasari julukan tersebut tidak selalu muncul sebagai hasil dari keinginan seseorang untuk bersikap dingin atau tidak peduli. Sebaliknya, sikap apatis itu sendiri sering kali dipicu oleh berbagai faktor dan situasi yang terjadi dalam kehidupan mahasiswa.
Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa setiap individu memiliki keunikan dan kepekaan tersendiri terhadap lingkungan sekitarnya. Kita juga harus mengakui bahwa keadaan mental dan emosional setiap individu dapat sangat beragam. Bagi sebagian mahasiswa, menghadapi tekanan akademis, masalah pribadi, kebingungan mengenai masa depan, atau bahkan masalah kesehatan mental yang tidak terdiagnosis dapat menjadi pemicu terjadinya sikap apatis. Ini bisa menjadi respon alami terhadap stres dan ketidakpastian yang mereka alami. Bagi mereka menarik diri dari interaksi sosial dan dunia luar mungkin merupakan mekanisme koping yang digunakan untuk melindungi diri dari stres tambahan.
Di sisi lain, ada juga faktor lingkungan yang berkontribusi pada munculnya sikap apatis ini. Budaya kompetitif di perguruan tinggi, di mana mahasiswa sering kali merasa perlu untuk fokus sepenuhnya pada studi mereka demi mencapai kesuksesan, bisa menjadi alasan mengapa mereka terlihat acuh tak acuh terhadap hal lain di sekitarnya. Selain itu, lingkungan sosial juga memainkan peran penting dalam membentuk sikap seseorang. Mahasiswa yang merasa tidak diterima atau diabaikan oleh lingkungan sekitarnya mungkin cenderung menarik diri sebagai respons terhadap perlakuan tersebut. Rasa terasing dan ketidakmampuan untuk berintegrasi secara sosial dapat mengakibatkan seseorang menjadi lebih tertutup dan kurang bergaul. Selain itu, ketidakmampuan untuk berintegrasi dalam lingkungan sosial yang lebih luas juga dapat memicu rasa terasing dan akhirnya menghasilkan sikap apatis.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kondisi sosial dan politik yang tidak stabil atau bahkan konflik di dalam masyarakat juga dapat memperkuat sikap apatis. Mahasiswa yang terpapar dengan ketidakadilan sosial, korupsi, atau kekacauan politik mungkin kehilangan kepercayaan pada sistem dan institusi, yang pada gilirannya dapat memicu sikap apatis terhadap perubahan atau partisipasi dalam aktivitas sosial.
Namun, penting untuk diingat bahwa julukan “ilmu selamat” seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang positif atau patut dicontoh. Sikap apatis bukanlah solusi yang baik dalam menghadapi masalah atau tantangan. Meskipun mungkin memberikan kenyamanan sementara, menghindari interaksi sosial atau menutup mata terhadap masalah yang ada. Sikap apatis bukanlah hal yang sehat, baik bagi individu maupun bagi masyarakat secara keseluruhan. Sebaliknya, diperlukan upaya untuk mengatasi akar penyebab sikap apatis dan membangun komunitas yang inklusif dan peduli. Contohnya dengan mendorong mahasiswa untuk memperluas wawasan mereka, terlibat dalam aktivitas sosial, dan membentuk hubungan yang kuat dengan lingkungan sekitarnya.
Sebagai rekan sejawat atau anggota masyarakat, penting bagi kita untuk memahami bahwa sikap apatis bukanlah tanda kelemahan karakter, tetapi seringkali merupakan reaksi alami terhadap tekanan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, bukannya mengecam atau mengucilkan individu yang mungkin terlihat “ilmu selamat“, kita seharusnya mencoba untuk memahami dan mendukung mereka melalui kesulitan yang mereka hadapi. Kita perlu menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan sosial mahasiswa tersebut. Ini termasuk menyediakan sumber daya dan dukungan yang memadai untuk membantu mereka mengatasi tekanan yang mereka hadapi, serta mempromosikan budaya inklusif di mana setiap individu merasa didengar dan dihargai.
Oleh karena itu, penanganan masalah sikap apatis di kalangan mahasiswa tidak hanya memerlukan pendekatan individual, tetapi juga membutuhkan perubahan dalam budaya dan sistem yang memungkinkan setiap individu merasa didengar, dihargai, dan termotivasi untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial dan akademik. Penting bagi kita semua untuk tidak menghakimi atau mengejek mereka yang mungkin terlihat apatis. Sebaliknya, kita perlu bersikap empati dan mencoba memahami apa yang mungkin mereka alami. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih menyenangkan dan mendukung bagi semua orang untuk tumbuh dan berkembang secara positif. Karena hanya dengan memperkuat ikatan sosial dan memperjuangkan inklusi, kita dapat menghapus julukan “ilmu selamat“ dan menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan berempati bagi semua orang.
Redaktur : Balqis Aurora
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.