SUARA USU
editorial Featured Kabar SUMUT

Telisik Lebih Dalam, Tinta Hitam Penggusuran di Kota Medan

Reporter : Novia Kirana

Suara USU, MEDAN. Masih hangat dibicarakan, pada Kamis, 25 November 2021, dilancarkan eksekusi penggusuran paksa di Jl. Melati dan Jl. Karya , Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Sumatera Utara. Penggusuran ini dilaksanakan oleh Pihak PTPN II kepada rumah dinas yang masih ditempati oleh beberapa pensiunan PTPN II yang sampai sekarang belum diberikan uang santunan hari tuanya. Menurut perjanjian kerja bersama, para pensiunan yang belum diberikan SHT nya, masih boleh menempati rumah dinas tersebut.

Pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Kota Medan sendiri memang kerap memberikan keberagaman alasan dan ketentuan terkait penggusuran yang kerap kali dilakukan mereka terhadap tempat tinggal maupun lokasi-lokasi usaha milik masyarakat.

Namun dalam praktiknya, Pemerintah Kota Medan dinilai untuk melancarkan aksi penggusurannya hanya akan memakai satu sistem, yakni sistem penggusuran secara paksa.

Dengan alasan optimalisasi lahan serta penertiban pada bangunan-bangunan yang digusur, aksi penggusuran paksa di Kota Medan ini seperti kejadian yang terus berulang yang tak meresahkan siapa-siapa.

Padahal, penggusuran paksa di Kota Medan sendiri, kerap kali dilakukan tanpa adanya pertanggungjawaban dari pemerintah. Mulai dari ganti rugi hingga relokasi tak pernah disalurkan pemerintah untuk masyarakat yang terkena dampaknya.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menjelaskan, bahwa sebenarnya tak ada yang salah dari alasan pengoptimalisasikan lahan dan bangunan, sepanjang pemerintah bisa jujur dan terbuka atas rencana, data serta kebijakan-kebijakan yang mereka ambil serta produk-produk hukum yang mereka keluarkan, maka potensi yang akan diterima masyarakat dapat dipersempit.

Motif pada umumnya, jika para calon korban penggusuran menolak digusur, seperti yang terjadi di Jalan Helvetia, para pelaku penggusuran akan mulai melemparkan somasi.

“Untuk somasi sendiri, memang mereka akan memberikan somasi terlebih dulu sebelum melakukan penggusuran. Namun, yang jadi persoalan bukan somasi nya. Persoalannya adalah pemerintah selalu tertutup tentang kebijakan yang akan mereka ambil, sepanjang itu pula, kerugian di masyarakat yang terkena dampak penggusuran ini akan tetap tinggi dan indikasi kecurangan serta korupsi oleh pemerintah sangat kental,” jelas Alinafiah Matondang, selaku Kadiv SDA LBH Medan sekaligus penasehat hukum para pensiunan yang terkena dampak penggusuran.

Berbicara tentang hak, rumah dinas adalah bangunan yang dimiliki oleh negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri yang masih menduduki jabatan struktural dan fungsional pada instansi yang bersangkutan.

Satu sisi, melihat konteks dari pensiunan, selain hak mereka untuk mendapatkan SHT, alas hak untuk tetap tinggal dalam rumah tersebut, itu juga belum bisa ditunjukkan. Hak untuk mendapatkan SHT dan hak untuk terus menguasai rumah dinas tersebut adalah dua hak yang tidak bisa dibenturkan satu sama lain.

Melihat sisi lain dari konteks PTPN II yang melakukan penggusuran paksa kepada para pensiunan, padahal ada ketentuan kerja bersama yaitu, sebelum dikeluarkannya SHT maka para pensiunan masih berhak menempati rumah dinas tersebut.

Pihak PTPN II tidak bisa melakukan claim sepihak menyatakan itu lahan dan bangunan mereka, karena PTPN II hanya mempunyai hak mengusahai saja, itupun jika dapat dibuktikan dengan surat konkrit perpanjangan HGU.

“Seperti yang kita ketahui bersama, rumah dinas adalah asset negara yang tidak bisa berpindah haknya kepada siapapun. Kedua pihak ini, antara para pensiunan dan pihak PTPN II, jika merasa sudah mempunyai alas hak yang kuat dimata hukum, silahkan ajukan gugatan secara perdata, karena konteks yang bisa kita lihat itu alas hak masing-masing yang bersengketa.” Tutur Tommy Aditia Sinulingga, SH.,M.H, salah seorang pengurus  di LKBH Fakultas Hukum USU.

Menurut Tommy, dari permasalahan penggusuran paksa ini kedua pihak antara pihak PTPN II dan para pensiunan harus sama-sama sadar hukum tentang itu. Mulai dari menimbang untuk melakukan win-win solution.

Namun bukan berarti pensiunan boleh digusur secara paksa dari rumah dinas ketika SHT mereka tetap tidak dikeluarkan. Karena SHT merupakan salah satu hak yang wajib dikeluarkan. Artinya, akan berbeda pula jika berbicara konteks hak untuk menguasai rumah dinas tersebut, “keluarkan SHT para pensiunan, hak pensiunan dapat, PTPN II juga dapat hak menguasai lahan dan bangunan itu kembali.” Jelas Tommy.

Diakhir pendapatnya Tommy menjelaskan, yang paling penting dalam penanganan kasus-kasus yang dialami rakyat seperti ini adalah, edukasi hukum yang baik dan benar, jangan sampai edukasi hukum yang ditanamkan kepada rakyat itu salah dan akan menimbulkan kerugian yang dialami oleh rakyat akan lebih besar pula.

Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri

Related posts

Phadrel: Inovasi Plester Anti Jerawat dari Tanaman Jarak Pagar!

redaksi

Jong Batak Arts Festival: Muda dan Cinta Bangsa

redaksi

Etika dan Filsafat Komunikasi dalam Kaitan Kasus Kebohongan Ferdy Sambo

redaksi