Penulis : Novia Kirana
“Filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok pangkal dan puncak segala pengetahuan” – Immanuel Kant
Novel fiksi best seller international berjudul “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder adalah sebuah novel berlatar sejarah filsafat sejak awal perkembangannya di Yunani hingga abad kedua puluh. Buku ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 dalam Bahasa Norwegia dengan judul sofie’s verden. Sampai saat ini, novel “Dunia Sophie” telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa di seluruh dunia.
Novel yang menyajikan ilmu filsafat di dalamnya ini terkategori unik dan langka. Pemikiran tentang filsafat yang sulit dan berat mungkin akan meragukan para pembaca novel, karena bahasa-bahasa yang disajikan dalam ilmu filsafat seringkali gagal untuk dipahami jika hanya membaca satu kali. Dasar ilmu pengetahuan adalah filsafat. Untuk itu pula, penulis novel ini akan membuat para pembaca untuk terus penasaran akan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis yang merupakan kepentingan semua orang.
Sophie Amundsend adalah seorang pelajar sekolah menengah yang berusia empat belas tahun serta seorang remaja yang sering merasa tidak puas dengan penampilannya. Suatu hari sepulang sekolah, ia mendapati sebuah surat dalam kotak surat di pintu gerbang halaman rumahnya yang khusus ditujukan untuk dia tanpa dicantumkan siapa pengirimnya. Isi surat tersebut hanya sebuah pertanyaan “siapakah kamu?”.
Tidak ada yang lain, hanya dua kata yang ditulis tangan dengan tanda tanya besar. Belum sempat mendapat jawaban dari pertanyaan tersebut, di hari yang sama ia mendapat surat lain lagi berisi pertanyaan “Dari manakah datangnya dunia?”. Dikejutkan oleh beberapa pertanyaan olah nalar, Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar tentang kehidupan, dimana setelah itu ia mulai belajar serta mendalami ilmu filsafat.
“Kebutuhan mendasar atas makna dan arah kehidupan, kebutuhan tentang bagaimana misteri-misteri kehidupan bisa dijelaskan dan dipahami, kebutuhan untuk mengerti apa yang sesungguhnya diinginkan oleh jiwa itu sendiri.” – Bambang Sugiharto, Guru besar Filsafat, mengajar di Unpar dan ITB, Sekjen International Society For Universal Dialogue (New York).
Dalam bagian filsafat dan pengalaman di novel ini, Bambang Sugiharto menjelaskan bahwa didalam situasi keagamaan yang meledak-ledak, filsafat biasanya bahkan dilihat sebagai kebebasan nalar yang liar dan arogan. Filsafat dinilai sebagai salah satu bentuk ancaman dalam terciptanya kekacauan, acap kali bahaya tafsir bebas yang mengarah pada kemurtadan, atau di level berikutnya mencakup gejala kegilaan. Untuk itu, menurut Bambang, filsafat tidak disarankan sebagai bahan kajian, namun sebagai hiasan bagi masyarakat umum. Karena dalam mempelajari ilmu filsafat, yang ditekankan adalah kebutuhan terdalam jiwa dalam lika-liku pengalaman kehidupan.
Namun, di sisi lain filsafat adalah dasar pemikiran keingintahuan manusia, dan tak bisa dicap selalu buruk. Pada konteksnya, filsafat adalah sebuah rasa penasaran atas persoalan yang manusia jalani dalam hidupnya. Manusia yang pada dasarnya memang mahluk yang mempunyai seribu keingintahuan, dapatlah mempelajari filsafat dengan olah nalar yang wajar tak perlu untuk membuat upaya-upaya tanpa akhir untuk menuntaskan persoalan yang dihadapi.
Kerangka novel ini menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis yang abstrak namun menarik benang merah positif untuk membimbing para pembaca menemukan serta mempersoalkan pertanyaan dasar tentang kehidupan yang sedang dijalani. Penulis berhasil menyajikan novel ini melalui pemikiran-pemikiran banyak filsuf yang memberi banyak jawaban atas satu pertanyaan terkait, karena belajar filsafat menuntut untuk berani memikirkan sesuatu diluar nalar serta tekun untuk terus mempelajari istilah-istilah yang diciptakan para filsuf dengan pemikirannya masing-masing.
Novel ini sangat direkomendasikan bagi mereka yang ingin melangkah ke tahap awal untuk belajar filsafat. Bahasa yang sederhana dan mudah dicerna, akan membantu para pembaca memahami konsep awal tentang ilmu filsafat. Genre fantasi serta alur cerita yang terbagi atas rasional dan irrasional akan membuat para pembaca berada di titik puncak imajinasi serta penasarannya, itulah salah satu keberhasilan dari novel ini.
Keunggulan lainnya, novel ini menyajikan foto para filsuf dari masa ke masa seperti di lukis menggunakan pensil halus, membuat vibe seperti membaca buku sejarah makin terasa dan yang tak kalah penting terdapat kolom indeks halaman yang memudahkan para pembaca untuk menemukan kata kunci yang ingin dicari.
Kekurangan dari novel ini adalah penulis lebih tajam memotret pemikiran para filsuf barat dari abad pertengahan, yang mana Jostein Gaarder tidak secara rinci ataupun terbesit membeberkan kontribusi besar para filsuf dan ilmuwan Arab dalam mengantarkan Eropa keluar dari abad kegelapannya. Alur cerita yang terkesan berulang-ulang dan membuat klimaks dalam novel seakan tak mengkhawatirkan, bersamaan dengan itu pula, novel sebanyak 798 halaman ini dipadatkan dengan mayoritas tulisan yang berpotensi membuat para pembaca merasa bosan.
Redaktur: Yulia Putri Hadi
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.