Oleh: Zahra Zaina Rusty
Suara USU, Medan. Kemajuan teknologi dan globalisasi membuat kita seharusnya merasa lebih terhubung dengan dunia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak dari kita merasa asing, bahkan dengan orang-orang di sekitar kita. Kehidupan modern yang dipenuhi dengan notifikasi dan interaksi virtual telah membuat kita lupa akan nilai penting dari kehadiran nyata dan hubungan sosial yang mendalam.
Bayangkan, dengan hanya satu klik, kita bisa menunjukkan kepada dunia apa yang sedang kita lakukan. Kita menciptakan identitas kita sendiri secara digital, menampilkan versi terbaik dari diri kita di media sosial. Karier, pendidikan, dan peluang terbuka lebar. Teknologi memberi kita kebebasan untuk bekerja dari rumah, dari kafe favorit, atau bahkan dari pantai. Globalisasi membuat kita merasa bisa melangkah sejauh yang kita inginkan.
Kecenderungan ini mendorong kita sering kali lebih memilih menatap layar ponsel daripada berbicara dengan orang di depan kita. Media sosial seolah menciptakan ilusi kedekatan, padahal banyak dari interaksi tersebut terasa dangkal dan tidak bermakna. Ironisnya, di dunia yang semakin terkoneksi ini, rasa kesepian justru semakin nyata.
Kita pun mulai terbiasa mengabaikan mereka yang berada di sekitar kita, baik keluarga, teman, maupun tetangga. Sering kali, saat seseorang membutuhkan perhatian atau sekadar teman bicara, kita terlalu sibuk dengan kehidupan digital kita. Kita lupa bahwa kehadiran fisik, mendengarkan dengan empati, dan waktu yang diberikan untuk orang lain memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada seribu like di media sosial.
Ada kalanya setelah semua pencapain dan postingan di media sosial, kita bertanya-tanya, “Apakah semua ini cukup?” Atau “Apakah saya hanya sedang bersaing dengan orang lain tanpa sadar?” Kita mengejar kebebasan, tapi terkadang merasa terjebak dalam perlombaan yang tidak pernah selesai.
Di masa lalu, kita tumbuh dengan budaya gotong royong, kebersamaan dengan orang sekitar adalah segalanya. Namun, terkadang dengan fokus yang begitu besar pada diri sendiri, nilai-nilai itu perlahan memudar.
Globalisasi juga membawa budaya individualisme yang semakin kuat. Banyak dari kita terpaku pada pencapaian pribadi, seolah-olah kesuksesan hanya bisa diraih dengan bekerja sendiri, tanpa melibatkan orang lain. Kita berlomba-lomba untuk mencapai tujuan, sering kali tanpa memikirkan bagaimana hubungan dengan orang-orang di sekitar ikut terdampak. Akibatnya, kita semakin menjauhkan diri dari kebersamaan dan rasa saling peduli.
Namun, di tengah semua ini, kita perlu berhenti sejenak dan melihat kembali apa yang sebenarnya kita cari. Apakah hubungan virtual yang kita bangun benar-benar memberikan kebahagiaan? Atau justru kita lebih membutuhkan kehadiran nyata, percakapan tulus, dan kebersamaan yang memberi makna dalam hidup?
Saatnya kita memperlambat langkah, berhenti sejenak dari kesibukan digital, dan mulai memperhatikan orang-orang di sekitar kita. Menjadi hadir untuk mereka, memberikan perhatian tanpa terganggu notifikasi, dan membangun kembali hubungan yang lebih nyata. Karena pada akhirnya, hidup bukan hanya soal terhubung secara teknologi, tapi juga soal benar-benar hadir untuk orang lain.
Redaktur : Evita Sipahutar
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.