Oleh: Hanna Sinaga
Hai, namaku Kania, mahasiswa Farmasi semester 3. Aku adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Aku menyimpan sakit hati terhadap orang tuaku. Mereka selalu mengatakan “Jangan lembek, lah, Kak”, ”Masa begitu saja tidak bisa”, ”Jadi, apanya yang kamu tahu? Semua gak tau”. Kata-kata seperti itu melekat sepanjang perjalanan hari-hariku. Aku tidak lagi curhat dengan orang tuaku. Aku menjadi pendiam dan selalu menangis disepanjang malam dengan beban berat pertemanan dan perkuliahan, dimana keluarga pun tak lagi menjadi tempatku mendapat ketenangan. Hari bertambah hari, kepribadianku semakin kacau. Aku tidak pandai bersosialisasi sebab dipikiranku saat akan menjalin hubungan, mereka akan menghakimiku dengan mudah sehingga aku menyerah untuk punya seseorang di sisiku. Pola ini semakin jelas, hingga di semester 3 aku dicap anti sosial, cacat mental, aneh, psikopat, atau apalah itu.
Memang menjalani hari-hari sangat sulit, tapi aku masih bisa menahan semuanya karena mereka tidak secara terang-terangan membicarakanku atau menjauhiku, hingga suatu hari aku mengalami hari yang sangat buruk. Hari itu sangat cerah, tapi hatiku sangat gelap. Pagi itu aku bertugas membersihkan alat praktikum. Saat ingin menyimpan kembali alat praktikum, tanganku menyenggol satu cairan yang terasa sangat panas. Cairan itu mengenai pipi dan leher bagian kiriku. Aku panik hingga aku berlarian kearah temanku yang satu piket denganku.
”Karin! Karin!” aku berteriak dengan sangat putus asa. Lima menitan mencari dengan tetap menangis, akhirnya aku menyerah. Sepertinya temanku memang sudah tidak ada di sekitarku. Memang Karin sering tidak mengerjakan piket. Aku saja yang tak pernah melaporkannya karena aku rasa sia-sia sebab dia adalah ‘anak emas’ kesayangan asisten lab dan teman-teman seangkatan. Parasnya yang cantik dan status sosialnya yang baik, tidak selaras dengan sifatnya yang manipulatif. Sungguh aku tidak mau berurusan dengan orang seperti itu.
Lama-kelamaan aku menjadi pusing. Ada bayangan hitam yang sangat besar menghampiriku hingga akhirnya aku pun limbung. Pingsan, kata dokter yang aku temui saat membuka mata. Dokter mengatakan bahwa yang menemukanku adalah satpam yang sedang berkeliling. Luka bakarku sudah ditangani, tetapi ada tanda kemerahan yang sangat kentara di wajah dan leherku. Keesokan harinya aku telah diperbolehkan pulang. Di dalam kos aku kembali menangis, menyadari bahwa wajah dan leherku tidak lagi sama. Aku takut dengan pandangan orang. ”Bagaimana jika mereka jijik denganku?” kalimat itu berulang kali mengiringi tangisanku.
Hari berikutnya aku bimbang, bimbang untuk datang atau tidak di jadwal praktikum karena aku sudah pernah tidak mengikuti praktikum satu kali sebelumnya. Aku takut jika harus mengulang tahun depan. Jadi, dengan sisa keberanianku yang tinggal sedikit, aku memutuskan untuk pergi ke kampus. Sesampainya di sana, bukannya kalimat penyemangat yang terucap, mereka malah menjauhiku. Sekilas kulihat dimata mereka kejijikan saat menatapku. Tapi, aku tetap mencoba menjadi berani saat itu.
”Lapraknya nanti kasih sama Alvaro ya. Dia nunggu di Pendopo sampai jam 6. Saya ada urusan soalnya,” ucap asisten lab ku hari itu. Kalian tau, saat itu aku semakin ketakutan. Alvaro adalah kating yang kujadikan secret admirer. Untukku, dia secerah pagi dengan senyum yang sangat menawan. Dia sangat pintar dan aktif berorganisasi. Untukku, Alvaro adalah definisi laki-laki yang sangat atraktif. Aku sudah lama menaruh hati padanya. Setiap bertemu mata atau memandang fotonya, aku menjadi lebih mudah senyum. Mungkin ini sedikit lebay, tapi dari semua kerisauan hatiku, Kak Alvaro datang memberi kesempatan aku untuk tersenyum.
Setelah menimang-nimang skenario apa yang akan terjadi saat Kak Alvaro melihatku, kata-kata ejekan aku pastikan tidak akan muncul dari mulut sehingga aku memantapkan langkah untuk berjalan ke arah Kak Alvaro berada. Sesampainya di Pendopo, aku melihat Kak Alvaro beserta 6 temannya sedang asik mengerjakan sesuatu. “Kak, ini laprak saya atas nama Kania Syefara dari kelas C”. Dia melirikku, lalu bergumam, ”Hmm iya iya, diterima ya,” ucapnya.
Sebelum berlalu, aku sempatkan mengucapkan terima kasih padanya. Namun, tidak sengaja aku mendengar percakapan dirinya dengan teman-temannya, ”Ro, sama dia aja kau, dijamin gak ada lagi yang lirik-lirik. Jadi, gak cemburu lagi kau kayak sekarang”. ”Mikirlah gila! Jauh kali dari Karin ke dia, dari berlian ke sampah. Jijik tau! Natap mukanya aja aku gak sanggup. Kau lihat lah tadi, dah mau ku usir cepat-cepat dia.” Semua perkataan buruk itu dibalas tawa mengejek oleh teman-temannya. Kak Alvaro dan teman-temanya merendahkanku. Kak Alvaro ternyata tidak seindah ekspektasiku. Aku berlari ke kosku, padahal tadi aku tidak ada lagi kekuatan untuk berjalan. Sampai di kos, hatiku terasa sangat hampa. Aku merasa kosong. Aku merasa tidak ada yang berjalan baik di hidupku. Aku tak bisa menangis, aku kelu, aku kehilangan dirku.
Dengan tindakan impulsif, aku mengambil tali dan mengantungnya di langit-langit. Hari itu aku memutuskan untuk bunuh diri di kos tempatku tinggal tanpa meninggalkan suara, tanpa meninggalkan surat, aku menyerah akan hidup. Kupikir, aku akan langsung pergi ke alam baka. Ternyata, kini aku berada di depan pagar rumah. Lama aku terdiam memikirkan apa yang terjadi hingga terdengar suara ambulans berjalan ke arahku. ”Liu..Liu..Liu..,” kulihat tetanggaku mulai berkeluaran. Aku ikut berlari melihat jenazah siapa yang sedang dikeluarkan. Betapa kagetnya aku ternyata jenazah itu adalah aku. Aku mulai mencoba memanggil bapakku yang sedang merang-raung,
”Pak, di sini aku, Pak. Pak, masih hidup aku, Pak”. Aku mencoba untuk menyentuhnya, tetapi ternyata sentuhanku tidak terasa. Hatiku terasa sangat sedih. Bapakku belum pernah menagis sekeras ini sebelumnya. Aku kembali mencari ibuku. Aku memutari mobil ambulans dan menemui ibuku digotong beberapa orang karena pingsan. Tangisku semakin menjadi. Aku kalut akan rasa bersalah. Aku mengira tidak akan ada orang yang bersedih di hari kematianku. Aku kira aku tidak akan sedih ketika melihat orangtuaku menangis karena rasa kecewaku yang sangat besar.
Namun, tiba-tiba ada cahaya putih yang sangat terang melontarkan badanku ke waktu yang berbeda. Aku melihat bapakku sedang dimaki-maki atasannya berulang kali, tapi dengan baju yang berbeda beda seperti gabungan beberapa episode yang dirangkum. Aku kembali menangis. Aku tidak pernah mendengar cerita ini dari bapakku. Di tengah tangisanku, ada seseorang yang memberiku remot dengan satu tombol bulat berwarna pink bertuliskan ibu hingga kemudian aku pun memencetnya. Sama seperti ayah, ada episode berbeda yang digabungkan tentang bagaimana ibu menghadapi kemarahan ayah dan dicemooh tetangga karena tidak punya cukup uang untuk sekedar membeli baju di hari spesial atau tidak memiliki satupun perhiasan emas di tubuhnya.
Tangisku semakin kencang. Aku menutup mata dan terduduk. Disela tangisku aku mendengar suara sayup-sayup dari langit seperti suara orang menangis, ”Ya Tuhan, aku titipkan anakku Kania Syefara. Jaga dia Tuhan. Kami memang tidak sempurna menjadi orang tua, Kami tidak tau apa kesulitan yang sedang dia alami, Tuhan, tapi kami percaya doa kami sampai kepada dia ya Tuhan”. Aku yakin 100% itu suara ayah dan ibuku.
”Sekarang aku merasa sangat bodoh. Kenapa aku memutuskan untuk bunuh diri. Aku ingin membanggakan orang tuaku, Tuhan!”. ”Tuhan, beri aku kesempatan untuk hidup Kembali Tuhan. Aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku. Aku akan menghargai hidupku. Aku mohon dengan sangat Tuhan,” kataku sembari menengadahkan tanganku dan memusatkan mataku ke atas.
Tahukah kamu teman, ini jawaban yang ku dengar dari langit, ”Tidak. Tidak ada kesempatan kedua. Sekarang saatnya kau pergi ke neraka.”
Redaktur: Tania A. Putri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.