Oleh: Muhammad Fadhlan Amri
Suara USU, MEDAN. Film KPK: The EndGame, nampaknya bisa menjadi titik balik kebangkitan mahasiswa di Indonesia, terlebih untuk mahasiswa yang ada di Medan dan Universitas Sumatera Utara. Film dokumenter yang menceritakan bagaimana pemecatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini sukses meraih atensi di berbagai penjuru nusantara. Ratusan titik nobar di sejumlah kota pun berhasil dilangsungkan.
Melihat fenomena ini salah satu, filmmaker kawakan asal Sumatera Utara, Andi Hutagalung pun memberikan pandangannya. Sebelumnya, pria lulusan Institut Teknologi Medan (ITM) ini mengaku atensi dan perhatian masyarakat khususnya dari kota Medan sangat kurang, lebih-lebih karena pandemi masyarakat semakin meninggalkan film-film dokumenter.
“Selain ini agak menurun, karena pengaruh pandemi juga kan kalau ada acara gitu, jadi makanya virtual kebanyakan. Kemarin juga ada sexy killer jauh sebelum corona itu. Mahasiswa sekarang, apalagi di Medan ya sangat kurang atensinya. Padahal film-film seperti ini konsumsinya mahasiswa setiap hari. Apalagi berbicara dokumenter, berbicara informasi-informasi baru, data-data yang diperoleh dengan waktu yang tidak sebentar,” ucapnya.
Andi menambahkan bahwa sangat disayangkan ketika dengan adanya teknologi para mahasiswa justru hanyut dan terlarut dalam teknologi serta kemudahan yang ditawarkan, sehingga melupakan fungsi-fungsi sosialnya sebagai seorang mahasiswa.
“Sangat disayangkan ketika dengan adanya teknologi dan informasi, mahasiswa justru malah terlarut dalam hal itu, bukan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari yang bisa ia dapat,” terangnya.
Pria bermarga Hutagalung ini menerangkan bawa kupas-kupas film, ruang-ruang diskusi ini harusnya menjadi bahan perngkajian dari para mahasiswa, dan mahasiswa harusnya mampu menjadi motor penggerak dari aksi-aksi tersebut,
“Kupas-kupas film ini harus lebih digiatkan mahasiswa sebenarnya. Tapi kalau bisa filmnya film yang memang betul-betul yang bernuansa pendidikan. Itu penting karena kalau misalnya kan film dengan genre-genre lain gampang dicari dan gampang juga untuk membedah itu bicaranya nanti soal percintaan. Tapi kalau bicara masalah sosial budaya dan permasalahan setiap masyarakat, itukan fungsi sosialnya mahasiswa,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ia berharap mahasiswa khususnya di kota Medan bisa lebih aktif khususnya di sektor organisasi dan juga mencontoh mahasiswa-mahasiswa yang ada di Jawa ketika berbicara idealisme.
“Mahasiswa di Medan cenderung lebih main aman ya daripada di Jawa, kalo yang aku lihat yah. Terlebih kalo yang orang tuanya berkecukupan, dia datang duduk dan lulus, dia ga mengerti tanggung jawab sosialnya sebagai mahasiswa, iya beda dia sama yang di Jawa,” tuturnya.
Andi menuturkan bahwa salah satu yang menjadi pembeda antara mahasiswa di Jawa dan di Sumatera salah satunya adalah faktor tekanan orang tua, dimana orang tua di Sumatera cenderung memaksakan anaknya untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Yang aku lihat tekanan orang tua di Jawa dan Sumatera juga berbeda tekanannya. Kalo di Jawa sudah dibebasin, kalo di Sumatera lulus harus jadi PNS. Carik aman aja lah, kebanyakan berfikir seperti itu,” ungkapnya.
Redaktur: Zukhrina Az-Zukhruf
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.