Oleh: Alif Akbar Saragih
Suara USU, Medan. Grave of the Fireflies (Hotaru no Haka dalam bahasa Jepang) merupakan film animasi Jepang yang dirilis pada tahun 1988. Film ini merupakan rilisan dari studio animasi paling terkenal di Jepang, yaitu Studio Ghibli. Sekilas ketika kita mendengar kata Ghibli mungkin yang terlintas di kepala kita adalah film-film animasi yang penuh fantasi dan imajinasi, seperti Spirited Away atau Howl’s Moving Castle. Namun tidak untuk film ini.
Grave of the Fireflies atau dalam bahasa Indonesia berarti ‘makam kunang-kunang’ merupakan film yang penuh dengan kesedihan dan rasa sakit yang mendalam ketika menontonnya.
Memiliki latar waktu tahun 1945 ketika perang dunia II. Bercerita mengenai kisah Seita, seorang kakak laki-laki dengan Setsuko adik perempuannya yang berjuang bertahan hidup di daerah yang sedang mengalami kehancuran akibat perang. Pada saat itu Seita berusia 14 tahun dan adiknya Setsuko berusia 3 tahun. Ayah mereka seorang anggota militer angkatan laut yang pada saat itu sedang berjuang membela negaranya, sehingga mereka tinggal bersama ibunya.
Serangan udara dari militer Amerika Serikat ke kota Kobe, tempat Seita dan Setsuko tinggal membuat kota tersebut hancur, termasuk rumah mereka. Akibat serangan udara itu mereka terpaksa mengungsi ke tempat lain dan pada saat mengungsi itu lah mereka terpisah dari ibunya. Awalnya mereka tinggal di rumah bibi mereka, namun tak lama bibi mereka menganggap mereka hanya menambah beban dan hanya menghabiskan makanan saja tanpa bekerja.
Menyadari hal tersebut Seita akhirnya mencari tempat tinggal lain untuk Ia dan adiknya. Tak lama Ia menemukan sebuah goa di tepi danau. Akhirnya Seita memutuskan membawa adiknya ke goa tersebut dan tinggal bersama. Setsuko tidak masalah tinggal di goa seperti itu, asal Ia bersama kakaknya.
Kesedihan dari film ini semakin kuat ketika memperlihatkan kehidupan Seita dan Sesuko di goa. Mereka makan apapun yang bisa didapatkan di sekitar danau, mereka makan kodok dan sesekali meminta ke warga sekitar danau. Namun karena kondisi juga sedang sulit mereka tidak mendapatkan apapun. Seita sampai mencuri beras dan buah-buahan dari ladang orang lain, namun akhirnya ketahuan dan sempat dihajar tapi tidak sampai ditahan. Seita juga mencoba juga menjual barang-barang peninggalan ibunya namun ditolak mentah-mentah oleh orang lain. Ketika malam hari mereka menggunakan kunang-kunang sebagai alat penerang di dalam goa.
Setsuko terkena penyakit kulit karena terlalu sering memakan makanan yang kotor ketika Ia ditinggal kakaknya pergi untuk mencari makanan ke kota. Sampai akhirnya Setsuko jatuh sakit dan membuat suasa film menjadi semakin sendu. Ending dari film ini tidak mau penulis spoiler karena penulis berharap kalian dapat menyaksikannya sendiri dan merasakan kesedihan dari film ini.
Backsound dari musik dalam film ini juga membuat sedih sekaligus merinding. Cerita yang sangat bagus dibungkus aransemen musik yang sendu membuat suasa menonton seperti nyata. Secara keseluruhan dapat dikatakan film ini adalah salah satu film bagus yang tidak mau penulis tonton untuk yang kedua kalinya. Dikarenakan kesedihan yang diberikan terlalu dalam dan merasa akan sangat berat untuk ditonton kedua kali.
Grave of the Fireflies memperlihatkan kepada kita bagaimana dampak dari perang, berapa banyak orang yang menderita karena terjadinya perang dan bagaimana perang sebisa mungkin harus dihindari. Selain itu dari segi animasi juga dapat memberi tahu kita bahwa film animasi yang bagus tidak melulu soal gambar yang bagus dan jernih, terkadang cerita yang apik dan musik yang pas dapat membuat film animasi menjadi masterpiece. Film ini juga sudah memiliki versi live action pada tahun 2005.
Redaktur : Theresa Hana
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.