Oleh: Muhammad Dava Farhan
Suara USU, Medan. “Laki-laki itu harus kuat, gak boleh nangis!”
Mungkin banyak dari kita sering mendengar kalimat seperti itu di kehidupan sehari-hari. Alih-alih ingin memberikan dukungan positif, hal tersebut malah dapat berdampak negatif terhadap seseorang. Peristiwa seperti ini kita kenal dengan istilah Toxic masculinity
Toxic masculinity merupakan suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu. Toxic masculinity ini menekankan bahwasanya kaum pria diidentikkan dengan kekerasan, keagresifan, kekuatan, dominasi dan tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan emosinya. Dalam pandangan ini, pria yang tidak memiliki perilaku seperti itu akan dianggap sebagai pria yang lemah dan feminim.
Tanpa kita sadari, Toxic masculinity ini dapat memberikan efek atau dampak terhadap korbannya, seperti merasakan tekanan psikologis, hingga menyebabkan depresi. Hal ini disebabkan adanya rasa malu dan takut mendapatkan labeling dari orang lain, sehingga membuat kaum pria lebih memilih untuk menahan dan menyembunyikan emosinya secara terus-menerus.
Selain itu, pandangan ini juga memiliki dampak bagi wanita ataupun pasangan. Kaum pria yang selalu dituntut dan dibentuk untuk bersikap agresif dan dominan dapat menimbulkan masalah, seperti kekerasan seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga.
Meskipun dapat diubah, nyatanya membutuhkan usaha dan waktu yang cukup panjang. Hal ini dikarenakan adanya budaya ataupun stigma yang telah dilekatkan kepada laki-laki dari waktu ke waktu. Namun, kita dapat melakukan beberapa pencegahan, salah satunya memberikan pendidikan yang baik kepada anak sejak ia masih kecil.
Kita dapat memberikan ia pengertian bahwasanya tidak ada larangan bagi mereka untuk menangis dan mengekspresikan emosinya. Kita juga mencoba untuk memahami perasaan emosi mereka, tanpa adanya penilaian buruk terhadap maskulinitas dirinya.
Selain itu, kita juga dapat memberikan pemahaman bahwa laki-laki harus memiliki sifat menghargai ke setiap orang, terkhususnya kepada perempuan. Hal ini bertujuan agar mereka mempunyai sifat simpati dan empati ketika mereka sedang bersosialisasi di lingkungan mereka.
Jadi bagaimana, siap memerangi Toxic Masculinity bersama-sama?
Redaktur: Muhammad Fadhlan Amri
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.