Oleh: Agus Nurbillah
Suara USU, Medan. Berbicara soal Medan, mungkin tidak ada habisnya. Kota multietnis ini memiliki rangkaian sejarah yang panjang sehingga tak heran jika di sini banyak ditemukan lokus hasil dari proses sejarah itu sendiri.
Medan awalnya merupakan sebuah perkampungan yang dikenal dengan nama Kampung Medan, yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590. Karena kampung ini berada di Tanah Deli, maka lebih dikenal dengan nama Medan-Deli.
Hingga pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun tembakau yang menjadi primadona dari Tanah Deli. Menurut kabarnya, Tembakau Deli menjadi komoditas yang mendunia hingga terbaik pada masanya. Pada masa kolonial, Sumatera Utara dikenal dengan Sumatera Timur yang memiliki banyak wilayah perkebunan. Gedung BKS PPS ( Badan Kerja Sama Perusahaan Perkebunan Sumatera) yang terletak di Jl.Pemuda No.10, Kec.Medan Maimun, Kota Medan, merupakan bekas dari kantor AVROS ( Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatera) yang dibangun pada 1918-1919 oleh arsitek G.H Mulder dengan gaya art-noveau.
Ada Gedung Lonsum (London Sumatera) yang dibangun pada 1906, merupakan perusahaan perkebunan milik Harrisons & Crossfield dengan arsitektur bergaya transisi. Gedung ini berlokasi di Jl.Jendral Ahmad Yani No.2, Kesawan, Kota Medan.
Proyek perkebunan tembakau milik Jacob Neinhuys sekarang menjadi Gudang Tembakau milik PTPN II, terletak di Jl.Kelambir,Tj.Kusta,Kec.Sunggal, Kab. Deli Serdang. Bangunan di wilayah ini menjadi bukti kejayaan tembakau Deli yang mendunia.
Dari perkebunan itu sendiri tentunya ada sistem perekonomian yang mendominasi, dahulu semasa kolonial berlaku uang kebon atau uang token yang dikeluarkan oleh perusahaan perkebunan. Tujuan uang kebon ini adalah agar kuli-kuli tidak mudah kabur dari perkebunan. Hal ini bisa kita lihat di Museum Uang Sumatera (MUS) yang terletak di Jl. Pemuda No.17, Kec. Medan Maimun, Kota Medan.
Ada Tip Top yang merupakan salah satu restoran tertua di Indonesia yang berdiri sejak 1934. Bangunan di Jalan Kesawan ini menjadi saksi perubahan Medan dari hutan menjadi kota bergaya Eropa.
Nada Zahwa, mahasiswi Fisika Universitas Sumatera Utara yang berdomisili di Medan saat kami wawancarai via Whatsapp mengaku sangat bahagia dan bangga menjadi warga Medan yang multietnis dengan beragam peninggalan sejarah.
“Saya bangga tinggal di Medan, walaupun kota ini ramai penduduknya tapi nuansa keanekaragaman budaya sangat terlihat indah dalam bingkai kota ini, misalnya ada adat Melayu, Batak, India, Tionghoa, dan lainnya. Selain itu, peninggalan sejarah di kota ini juga menjadi kearifan tersendiri dan menjadi destinasi wisata sejarah yang ikonik di Medan, seperti Istana Maimun dari Kesultanan Deli, lalu ada Masjid Al-Mashun, ada rumah Tjong A Fie, dan masih banyak lagi,” Tutur Nada.
Istana Maimun merupakan istana peninggalan Kesultanan Deli yang dibangun pada 1888 masa Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkasa Alamsyah. Istana ini dahulu dijadikan sebagai tempat pusat kebudayaan Melayu, untuk bermusyawarah dan sebagai pusat dakwah Islam di Medan. Istana ini berlokasi di Jl.Sultan Ma’moen Al-Rasyid No.66, Kec.Medan Maimun, Kota Medan.
Selain Istana Maimun, Kesultanan Deli juga membagun Masjid Al-Mashun atau yang lebih dikenal dengan Masjid Raya Medan, dibangun pada 1906 dengan sentuhan motif Timur Tengah dan Andalusia. Masjid ini terletak di Jl.Sipiso-Piso,Kec.Medan Kota,Kota Medan.
Rumah peninggalan Tjong A Fie, seorang saudagar Tionghoa yang sukses menjadikan Medan sebagai pusat perkebunan di Sumatera Utara. Rumahnya berdiri pada 1895 dengan campuran gaya khas Tionghoa, Melayu, dan Eropa. Hingga kini, rumah ini dijadikan sebagai museum yang menyimpan kisah perjalanan hidup Tjong A Fie dan keturunanya. Museum Tjong A Fie ini terletak di Jl.Jendral Ahmad Yani No.105, Kesawan, Kota Medan.
Ada juga Kampung Madras di kawasan Medan Polonia dan Medan Petisah, dimana masyarakat di kawasan ini merupakan keturunan India Tamil. Pada pertengahan abad ke-19 mereka didatangkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan pekerja di perkebunan Sumatera Timur. Hingga kini, keturunan tersebut hidup berdampingan dengan masyarakat Medan lainnya.
Begitulah Kota Medan dengan keanekaragaman budaya dan peninggalan bersejarah yang menambah lengkap bingkai keindahannya. Walaupun berbeda, tetapi kita tetap satu jua. Ingat pesan dari Ir.Soekarno, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah !”. Karena bangsa yang hebat dan bermartabat adalah bangsa yang memahami sejarah, tidak melupakan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih cerah.
Salam budaya, salam sejarah!
Redaktur: Yessica Irene
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.