Oleh: Yulia Putri Hadi
Suara USU, MEDAN. Selagi nuansa lebaran masih terasa, mari kita membahas salah satu film bertemakan lebaran berjudul “Mencari Hilal”. Film yang dirilis tahun 2015 ini disutradarai oleh Ismail Basbeth dan digarap oleh Mizan Productions, Multivision Plus, dan Dapur Film. Film ini diusung dengan sedikit unsur ideologi liberal yakni bahwa Islam ditafsirkan berbeda-beda sesuai dengan kepentingan penafsirnya. Film ini diperankan oleh Deddy Sutomo sebagai Mahmud, Oka Antara sebagai Heli, Torro Margen sebagai Arifin, Eryhna Baskoro sebagai Halida, dan masih banyak lagi.
Film ini mengangkat topik yang selama ini menjadi permasalahan masyarakat muslim di Indonesia terutama pada masuknya bulan Ramadhan dan Syawal yaitu Hilal. Indonesia selalu mengalami masalah perbedaan pendapat menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Perbedaan yang paling sering terlihat adalah Muhammadiyah dan pemerintah. Bahkan ada aliran yang bisa memiliki perbedaan hingga 2 hari.
Masalah penentuan hilal ini sebenarnya mudah tetapi rumit untuk dikaji. Beberapa petinggi agama memakai cara Ru’yatul hilal (melihat hilal dengan mata). Jika hilal tak terlihat, maka bulan sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Beberapa ulama lainnya menggunakan cara Hisab, yaitu perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Nah, secara umum film ini menceritakan tentang perjalanan seorang pria lanjut usia yang ditemani anaknya berkelana ke suatu bukit untuk melihat hilal dengan mata kepalanya sendiri.
Mahmud merupakan orang tua yang ingin tulus berjuang menerapkan perintah Islam secara kaffah dalam semua aspek hidup. Mahmud telah berdakwah selama puluhan tahun. Mahmud ini juga merupakan seorang pedagang toko kelontong di pasar. Ia menerapkan prinsip dagang Islam tanpa kompromi dan tidak membaca keberagaman yang terjadi di masyarakat. Karakternya yang ingin mengamalkan nilai-nilai Islam ini rupanya tak jarang menimbulkan ketidaksukaan dari beberapa pihak, termasuk putranya, Heli.
Heli ini merupakan seorang aktivis lingkungan. Heli selalu bersitegang dengan Mahmud karena ia menganggap cara yang dilakukan ayahnya hanyalah usaha yang kuno dan tak memiliki imbas sosial seperti kegiatannya. Demikian pula dengan Mahmud, ia menganggap Heli telah jauh dari agama hingga menyebut putranya sendiri telah “sesat” karena pemikiran sekulernya.
Hingga pada suatu hari Mahmud mendengar isu sidang isbat yang menelan dana sembilan milyar untuk menentukan hilal. Berita itu mengusik hatinya sehingga ia ingin memastikan bahwa untuk membuktikan hilal bisa dengan cara sederhana dan tidak menghambur-hamburkan uang Negara. Ia pun teringat tradisi mencari hilal yang dilakukan pesantrennya dulu. Ia ingin mengulang tradisi yang telah hilang bertahun-tahun lalu.
Sayangnya, Halida, anak perempuan Mahmud, tidak menyambut baik niat itu lantaran kondisi kesehatan ayahnya yang berusia 70 tahun sudah tak memungkinkan melakukan perjalanan sejauh itu. Namun, Mahmud bersikeras untuk tetap pergi.
Akhirnya, Halida mengizinkan ayahnya pergi, namun dengan satu syarat yakni ditemani Heli yang baru saja pulang kerumah untuk mengambil keperluan untuk urusan organisasi kemanusiaannya. Halida berjanji kepada Heli untuk membantu membuatkan paspor untuk misi sosialnya di Nicaragua asalkan bersedia menemani ayahnya mencari hilal. Heli pun dengan terpaksa ikut menemani Mahmud.
Setiap perjalanan yang mereka lewati penuh kejutan dan memberi banyak simbol yang menjadi akar permasalahan dalam kehidupan. Kejadian-kejadian yang muncul mencerminkan budaya Islam Indonesia yang telah dipengaruhi oleh berbagai kondisi. Banyak pergeseran nilai Islam yang dipengaruhi oleh kepentingan, dari tingkat pemerintahan hingga tingkat masyarakat kecil. Ada yang menerapkan Islam dengan praktis, ada yang dipengaruhi nafsu, dipengaruhi budaya, pun politik. Nilai Islam telah digunakan sebagai alat untuk pembenaran kepentingan pribadi, dari tingkat supir hingga kebutuhan mendapat jabatan.
Meski terkesan religi, film ini menarik untuk di apresiasi oleh semua kalangan. Ismail menggunakan latar penentuan hari besar keagamaan untuk mencerminkan perbedaan sebenarnya bukan menjadi sebuah masalah sosial. Seringkali permasalahannya adalah cara manusia menghadapi perbedaan yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari, film ini juga menggambarkan bahwa perbedaan merupakan suatu keniscayaan, bahkan dalam hubungan ayah dan anak.
Sayang sekali, “Mencari Hilal” tak mendapatkan dukungan komersil dengan baik dan tak berhasil memenuhi bangku bioskop hingga harus kalah turun layar saat itu. Padahal film ini memiliki cerita yang kuat, sarat makna, dan eksekusi sinematik yang baik. Meski demikian “Mencari Hilal” sempat diputar di berbagai festival film internasional seperti Tokyo International Film Festival.
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.