Oleh: Yessica Irene
Suara USU, Medan. Di tengah pandemi, ada saja kontroversi yang dihadirkan elite politik dalam dunia hukum di Indonesia. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Rancangan Undang-Undang yang diunggah di situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 22 April 2020 itu, memuat 10 bab dan 60 pasal. Beberapa pasal yang terdapat dalam RUU HIP tersebut dianggap melenceng oleh banyak kalangan.
Salah satu titik permasalahan RUU HIP tersebut adalah dengan tidak dimasukkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor XXV Tahun 1966 mengenai larangan paham komunisme, Marxisme, dan Lenimisme. Dengan tidak dimasukkannya TAP MPRS XXV/1966 tersebut, banyak kalangan sosial dan umum yang khawatir hal ini akan membuka pintu masuk bagi paham komunisme.
Pasal lain yang juga menuai kontroversi di tengah masyarakat terletak pada pasal 7 ayat (2). Dalam pasal itu, disebutkan bahwa ciri pokok Pancasila berupa trisila; yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Pada ayat (3) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Menimbulkan Kisruh di Berbagai Kalangan Pemuda Hingga Mahasiswa
Polemik RUU HIP tersebut memunculkan beberapa diskusi dan perdebatan. Salah satunya adalah diskusi yang diprakarsai Komite Nasional Pemuda Indonesia Sumatera Utara (KNPI Sumut) bersama Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Hukum (Pema FH) USU. Diskusi langsung yang membahas polemik RUU HIP ini dilaksanakan di Medan Club pada Senin, 22 Juni 2020.
Diskusi tersebut dibuka dengan pernyataan dari Dr. Mirza Nasution, yang juga dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU. Dalam kesempatannya, ia mengatakan bahwa Pancasila bukan merupakan norma hukum, melainkan Pancasilalah yang melahirkan norma-norma hukum.
“Kita harus mampu membaca apa yang menjadi alasan di balik pikiran diusulkannya suatu peraturan, termasuk RUU HIP itu sendiri.” ungkap Dr. Mirza.
Diskusi dilanjutkan dengan pernyataan dari pengurus DPD KNPI Sumatera Utara, Arifin Said Silitonga. Ia mengatakan bahwa Pancasila sudah bersifat final dan tidak perlu diperdebatkan lagi, apalagi diubah substansinya. Menurutnya, Pancasila yang telah disusun berdasarkan beberapa pendapat dari tokoh sejarah dan mencapai kesepakatan yang bertujuan untuk kepentingan bangsa seharus nya tidak mengalami perubahan.
Di akhir kegiatan, hasil diskusi dari KNPI Sumut bersama Pema FH USU ini disampaikan oleh ketua KNPI Sumut, El Adrianshah. Ia mengungkapkan bahwa KNPI Sumut akan berkomunikasi lebih lanjut dengan Organisasi Kepemudaan Islam (OKI) dan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) di Sumatera Utara untuk membentuk tim pengawal RUU HIP.
OKP/OKI akan mengirimkan utusan ahlinya dalam bidang hukum untuk melakukakan kajian yang mendalam mengenai RUU HIP. Dengan demikian, OKP/OKI serta mahasiswa yang diwakili oleh PEMA FH USU menolak keras RUU HIP ini.
Mengetahui banyaknya penolakan terhadap RUU HIP, pemerintah membuat keputusan resmi melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, untuk menunda pembahasan RUU HIP ini. Pemerintah juga meminta DPR sebagai pengusul untuk berdialog dan menyerap aspirasi dari semua elemen masyarakat.
Editor: Kurniadi Syahputra
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.