Foto: Moreschick
Oleh: Azka Zere
Matilah engkau mati
Kau akan lahir berkali-kali…
Begitulah sebait puisi yang mengawali prolog buku ini. Di tepi bukit, deburan ombak terdengar. Mereka mengikat kedua tangannya dengan besi pemberat dan menyerimpungkan kedua kakinya dengan besi. Setelah hampir tiga bulan disekap dengan penyiksaan yang tiada henti, akhirnya ia menemui Sang Pencipta. Ia melayang-layang hingga ke dasar laut, persis seperti yang digambarkan cover buku ini.
Kisah korban penculikan Maret 1998 menginspirasi sang penulis, Leila S. Chudori melahirkan buku fiksi sejarah berjudul “Laut Bercerita” yang terbit pada tahun 2017. Sepintas dari judul, tanpa melihat sinopsis yang ada di belakang buku ini, pembaca tidak akan mengira bahwa buku ini berisi perjuangan, penyiksaan, dan penculikan aktivis mahasiswa saat Orde Baru.
Berlatar antara tahun 1991‒2007, buku ini dibagi menjadi dua sudut pandang. Seperti judulnya, bagian pertama diawali dengan Laut yang bercerita mengenai perjalanannya mulai dari “Seyegan, 1991” hingga bab terakhir “Di Sebuah Tempat, di Dalam Kelam, 1998”. Kemudian, bagian kedua dilanjutkan dengan sudut pandang adiknya, Asmara Jati, “Ciputat, Jakarta, 2000” hingga “Di Depan Istana Negara, 2007”.
Biru Laut, seorang mahasiswa Sastra Inggris Universitas Gajah Mada memiliki kegemaran menggandakan beberapa bab novel dan buku yang dilarang saat itu. Kegemarannya itulah yang mempertemukannya dengan Kasih Kinanti, saat sedang menggandakan novel “Anak Semua Bangsa” milik Pramoedya Ananta Toer. Kinan mengajak Laut bertemu kembali untuk mendiskusikan karya-karya Pram.
Di pertemuan selanjutnya, Kinan berhasil memperkenalkan jalan menuju perjuangan kepada Laut melalui Winatra. Kemudian, Laut dan teman-temannya bergabung dalam organisasi Winatra, yang berasosiasi dengan Wirasena. Demi menghindari jaringan aparat dan intaian intel, mereka memustuskan untuk menghuni sebuah rumah terpencil sebagai sekretariat Winatra di tengah hutan Desa Pete, Seyegan.
Aksi Blangguan pada tahun 1993 ternyata tidak berjalan dengan mulus. Aksi yang direncanakan sedemikian rupa itu rupanya tercium baunya. Malam hari sebelum aksi tersebut dilaksanakan, para tentara mendatangi satu per satu rumah petani yang memungkinkan menjadi tempat menginap rombongan mahasiswa. Satu per satu pintu diketuk. Ketegangan dan ketakutan menyelimuti suasana malam itu. Setelah strategi disusun, akhirnya mereka memutuskan untuk keluar dari rumah petani dan memindahkan aksi ke depan Gedung DPRD Jawa Timur.
Setelah menunggu dua jam di gedung DPRD, hanya salah satu fraksi yang menemui mereka. Mereka menceritakan pengalaman mereka di Blangguan, termasuk perburuan terhadap mereka dan nasib petani yang tanahnya digusur untuk tempat pelatihan militer. Setelah pencatatan laporan usai, mereka memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta, tetapi ternyata para tentara telah lebih dulu sampai di Terminal Bungurasih untuk menyergap mereka dan dibawa untuk diintrogasi mengenai aksi Blangguan. Penyiksaan pun tak dapat dielakkan.
Pada tahun 1996, Winatra dan Wirasena dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah. Laut dan teman aktivis lainnya menjadi buron dan hidup dalam pelarian. Mereka terus berpindah mulai dari Lampung, Pekanbaru, Padang, Bogor dan kota lainnya selama dua tahun. Puncaknya saat Maret 1998, di rumah susun Klender, Laut diculik secara paksa oleh sekelompok lelaki yang mengenakan seibo.
Satu per satu sel di markas tentara dipenuhi oleh teman sesama aktivis yang dikenal Laut. Mereka diintrogasi, ditanyai pertanyaan yang sama; di manakah pemimpin mereka, siapa yang mendirikan Winatra dan Wirasena, dan siapa yang mendanai kegiatan mereka. Dipukul, diinjak, disiram air es, disetrum dengan tongkat listrik, direndam ke dalam bak, ditelanjangi kemudian diletakkan di atas balok es adalah makanan sehari-hari. Mereka terus disiksa agar mau membuka mulut. Tetapi menurut Laut, siksaan itu tidak seberapa sakitnya dibanding saat ia melihat salah satu teman seperjuangannya di Winatra, sibuk memotret tanpa rasa iba saat dirinya disiksa di atas balok es.
Bagian kedua dilanjutkan dengan sudut pandang Asmara Jati, yang terus mencari keberadaan kakaknya, Biru Laut. Pada bagian ini lebih disorot mengenai kesedihan dan penyangkalan atas kehilangan anak, kakak, dan kekasih yang tak kembali setelah penculikan tersebut. Ada sembilan orang yang dipulangkan ke rumahnya dan sisanya tiga belas orang termasuk Biru Laut dan Kasih Kinanti, belum kembali.
Menekan emosi karena harus berperan sebagai yang paling rasional, Asmara sampai lupa caranya bersedih. Kedua orangtuanya terus dibayang-bayangi kehadiran Laut. Ibu yang terus memasak tengkleng atau makanan kesukaan Laut dan sang ayah yang tetap pada kegiatannya yang sia-sia, menyiapkan empat piring di meja makan, lalu menyuruh menunggu sebentar, siapa tahu anak sulungnya akan datang tiba-tiba. Jika Laut tak kunjung datang, ayahnya akan memutuskan mulai makan karena berpikir Laut bisa menghangatkan makanan yang ada di kulkas. Mereka menyudahi penyangkalan itu dengan penyangkalan lain.
“Bagian paling berat bagi semua orang tua dan keluarga aktivis yang hilang adalah insomnia dan ketidakpastian,” tulis Leila dalam bukunya, halaman 245.
Buku yang berisi 379 halaman ini begitu emosional sehingga pembaca mungkin akan ikut masuk dan merasakan apa yang dialami oleh keluarga yang ditinggal. Sangat menyayat hati. Betapa mereka enggan membuka kemungkinan bahwa anak mereka bisa saja benar-benar tidak kembali. Kemungkinan itu terus ditutupi dengan penyangkalan yang tiada henti. Buku ini juga sudah diangkat menjadi film pendek, yang diperankan oleh Reza Rahardian sebagai Biru Laut dan Ayushita sebagai Asmara Jati.
“Laut Bercerita” sangat direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai novel berlatar sejarah. Saat membacanya, kita seperti didorong mengingat kembali kilas balik Orde Baru. Walaupun fiktif, tetapi faktanya, Aksi Blangguan benar-benar terjadi saat itu. “Laut Bercerita” terasa ‘hidup’ karena ditulis berdasarkan kesaksian korban penculikan yang saat itu dipulangkan, Nezar Patria dan kawan-kawan, serta kesaksian keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang tak pernah kembali.
Kepada mereka yang dihilangkan secara paksa dan tak pernah kembali, damailah di mana pun kalian berada. Kepada mereka yang masih berjuang menunggu dan menuntut keadilan, semoga lekas terwujud.
Redaktur: Yulia Putri Hadi
Discover more from SUARA USU
Subscribe to get the latest posts to your email.