SUARA USU
Buku Entertaiment

Pribumi dalam Buku Gelandangan di Kampung Sendiri

Oleh: Fathan Mubina

Suara USU, Medan. Kata pribumi dalam KBBI diartikan sebagai penghuni asli. Pribumi sepengetahuan penulis merupakan sekelompok orang yang menetap di satu daerah jauh lebih lama dibandingkan dengan sekelompok orang pendatang. Tulisan maestro dalam buku seperti biasa, dipenuhi oleh hikmah dan pelajaran yang mudah dipahami dan dimengerti oleh semua orang. Buku Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan panggilan Cak Nun ini merupakan buku yang disusun dari kumpulan tulisan beliau yang tersebar di harian (surat kabar), tabloid dan juga tulisan Cak Nun sendiri yang belum pernah di publikasikan di media massa manapun.

Buku ini secara garis besar terbagi menjadi empat subbbab, yaitu, Pengaduan I, Pengaduan II, Ekspresi dan Visi. Setiap subbab memiliki satu bahasan tema sendiri yang saling terhubung dengan yang lain. Gelandangan di Kampung Sendiri memperlihatkan bagaimana realita yang terjadi di Indonesia, walaupun kebanyakan tulisan diambil dari surat kabar antara tahun 1990-1992, bahkan realita yang terjadi sekarang ini sangatlah mirip dengan apa yang terjadi pada tahun tersebut. Indonesia yang dihuni oleh kebanyakan pribumi ini, secara tidak langsung menjadi gelandangan di negara nya sendiri seperti judul buku ini. Bagaimana tidak, bahkan di suatu daerah, seorang produser film di negeri ini, berkeliling layaknya seorang pedagang kaki lima, mencoba untuk menjual filmnya secara langsung kepada masyarakat. Film lokal yang seyogianya diapresiasi sedemikian rupa, sedemikian sulitnya menembus wayang pertunjukan (bioskop) di sebuah commercial center.

Topik terkait buruh di negeri ini digambarkan dalam buku ini secara jelas, namun Cak Nun berhasil merespon topik buruh ini dengan apik. Tulisan merupakan cerminan dari sifat seseorang, tentu sama halnya dengan buku ini. Dari buku Gelandangan di Kampung Sendiri jelas terlihat watak dari seorang Cak Nun. Bukan kekerasan yang Cak Nun katakan untuk menyelesaikan masalah perburuhan, demo yang kebanyakan menjadi kerusuhan bukanlah sebuah pilihan yang pertama.

“Cukup buat sebuah drama,” kata Cak Nun dalam buku ini. Drama tentu sangat dapat dilakukan dan semua buruh bisa menjadi lakon dalam drama mega besar. Drama dalam menolak sebuah peraturan yang merugikan lebih apik juga epik dalam melayangkan sebuah aksi protes, kembali kepada kita sebagai mahasiswa di negara tercinta Indonesia. Kita disandangkan sebagai pemikir, tapi seringkali menjadi kikir, ketika dihadapkan dengan aktivitas berpikir. Sayangnya, ditambah dengan terbatasnya pikiran, kita menjadi tidak sabaran atas satu-dua permasalahan yang sebenarnya merupakan sebuah kesalahpahaman. Alih-alih saling toleransi, mahasiswa saat ini saling sikut sana-sini.

Redaktur: Grace Silva

Related posts

Parable : Sadewa Sagara, Potret Nyata Sebagian Besar Remaja SMA

redaksi

Perjuangan Sayaka Dalam Film Flying Colors, Bukti Orang Tua Kunci Motivasi

redaksi

Wisata Tersembunyi, Pemandian Air Soda Berastagi

redaksi