SUARA USU
Kabar Kampus

IMAHARA FH USU Dorong Kepekaan Isu Sosial Terkait Ketenagakerjaan

Reporter: Novia Kirana

Suara USU, Medan. Ikatan Mahasiswa Hukum Administrasi Negara (IMAHARA) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara telah mengadakan Webinar Bedah Skripsi oleh Alumnus Fakultas Hukum USU Pranade Mas S.H. secara daring melalui Zoom Meeting, pada Minggu (14/08). Diskusi bedah skripsi berjudul “Studi Komparasi Hubungan Kerja Non-Standar Dependent Self Eemployment dalam Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia dan Hukum Inggris pada Era Gig-Economy” ini merupakan langkah awal dimulainya keharusan kepekaan isu sosial tentang ketenagakerjaan.

Di Indonesia, hubungan kerja yang dibahas Hukum Ketenagakerjaan awalnya hanya dikenal satu jenis hubungan kerja, yaitu hubungan kerja yang bersifat standar. Makna dalam Pasal 1 Angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Hubungan kerja yang bersifat standar ini akhirnya mengalami perkembangan dan ada yang disebut sebagai hubungan kerja Non-Standard Employment, dengan definisi yang beredar terus berbeda di berbagai negara.

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan Non-Standard Employment atau hubungan kerja non-standar sebagai jenis hubungan kerja yang merupakan penyimpangan dari standar yang ditetapkan pada hubungan kerja pada umumnya. Istilah-istilah tersebut sebenarnya banyak terwujud di era Gig Economy Indonesia dalam bentuk hubungan kemitraan. Misalnya, pada moda transportasi online, ekspedisi, dan beberapa sektor kreatif.

Berfokus pada hubungan kerja Non-Standar Dependent Self Employment, latar belakang dari penulisan skripsi ini juga dipaparkan Pranade dengan alasan bahwa pengaruh revolusi industri yang memicu adanya perubahan pola pikir, pola kerja, dan pola hidup, sehingga mendorong munculnya istilah Gig Economy. Dalam Non-Standar Dependent Self Employment dijelaskan bahwa hubungan kerja ini adalah hubungan kerja terselubung dengan seorang majikan menyamarkan status sebagai seorang pekerjanya. Hal ini bertujuan untuk meniadakan atau melemahkan perlindungan yang diberikan oleh undang-undang pada pekerja. Di negara ini, eksistensi dari praktik kerja Dependent Self-employment mempunyai dua wajah perusahaan Gig Economy, yaitu Gojek dan Grab.

Dalam pemaparan materi selanjutnya, UK Supreme Court melalui putusan pengadilan (19/02/2021) menyatakan bahwa pengemudi Uber di Inggris berstatus worker, berbeda dengan para pengemudi ojek online di Indonesia. Hal tersebut menggambarkan bahwa pengemudi Gojek dan Grab hanya didefinisikan sebagai pekerja dan pemberi kerja yang disatukan dalam suatu sistem yang dibalut dengan kata kemitraan tanpa bisa memiliki kontrol dalam pekerjaan yang mereka emban. Sebagai contoh, dalam hal memilih penumpang, penetapan tarif, penetapan sanksi, serta rating yang diterima pengemudi dari penumpang pun ditetapkan secara sepihak oleh sistem yang dibuat oleh perusahaan.

Perlunya rekonstruksi regulasi dalam UU Ketenagakerjaan masih dihadapkan dengan beberapa hambatan, seperti perantara teknologi dan absennya instrumen hukum yang mengatur mengenai makna unsur perintah yang membuat hubungan pekerja dan pemberi kerja memiliki hubungan buram dengan berlindung dibalik kata fleksibilitas. Dalam kenyataannya adalah agar kemitraan yang dimaksud tidak diwajibkan untuk memberikan jaminan sosial bagi para pekerjanya.

Aspek lain yang juga menjadi kendala adalah kondisi politik yang selalu menjadi sumber masalah, yakni pemerintah kurang peka atas hal-hal yang sebenarnya penting untuk ditetapkan secara normatif sebagai sebuah regulasi, dengan contoh bahwa UU Ketenagakerjaan sudah harus mengatur terkait hubungan kerja Non-Standar Dependent Self Employment, agar para pengemudi ojek online lebih terlindungi dalam sisi hukum.

Selaku Ketua Umum IMAHARA FH USU, Dion Pardede berharap cara pandang para mahasiswa terkait isu-isu yang sedang berkembang harus komprehensif dan luas, serta diharapkan dapat terus melakukan kritik atas regulasi yang acapkali tidak pro rakyat, terkhusus para pekerja.

“Cara berpikir kita sebagai mahasiswa jangan naif. Tentu kritik atas regulasi diperlukan, akan tetapi jangan berharap banyak selama kita memiliki pemerintahan dan dewan perwakilan yang tidak berpihak. Harus ada cara yang lebih radikal dan kreatif untuk menekan perubahan. Mungkin cara terbaik untuk memperbaiki hukum adalah membuat orang-orang tidak lagi mempercayai hukum. Good people disobey bad laws,” pungkas Dion.

Redaktur: Azka Zere Erlthor

Related posts

Pererat Rasa Kekeluargaan, UKM Panahan USU Kembali Adakan ATC Cup

redaksi

IMAPET USU Adakan Kontes Ternak Kambing dan Domba Sumatera Utara

redaksi

Berdiri Sejak Tahun 1955: Panti Asuhan Al-Washliyah Kota Medan dan Minimnya Pengetahuan tentang Pentingnya Peran Pekerja Sosial

redaksi