SUARA USU
Entertaiment

Mengupas Tuntas Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku, Pemantik Toleransi Di Tengah Pandemi

Foto: Kapanlagi.com

Penulis: Muhammad Fadhlan Amri

Suara USU, Medan. “Maluku. Kata ini bukan cuma nama tempat. Kata itu ajar katong samua darimana katong berasal. Par apa katong berjuang. KARENA BETA MALUKU! Bukan Tulehu, bukan Paso, bukan Islam, bukan Kristen”.

Isi Film:

Cahaya dari Timur, adalah sebuah film yang bertemakan sepak bola. Film yang diproduseri oleh Angga Dwimas Sasongko serta mendiang Glenn Fredly ini mengambil latar di Maluku, tepatnya ketika konflik agama yang berlangsung tahun 1999 hingga tahun 2000an.

Film ini yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan bagaimana seorang tukang ojek sekaligus mantan pemain Tim Nasional Pelajar U-15 Indonesia asal Tulehu, Sani Tawainella yang diperankan oleh Chicco Jerikho mengalihkan perhatian anak-anak di desanya dari konflik agama dengan mengadakan latihan sepak bola setiap jam 5 sore secara cuma-cuma.

Masalah demi masalah kerap ia alami. Berawal dari kekecewaan istri Sani, Haspa. Ia kecewa dengan keputusan Sani melatih sepakbola, yang mengakibatkan keuangan keluarga mereka semakin sulit. Terlebih ketika konflik terjadi ekonomi masyarakat menjadi sulit untuk tumbuh, pemerintah pun menerapkan darurat sipil.

Dalam melatih anak-anak Sani juga mengajak Rafi, temannya yang juga mantan pemain sepakbola yang pensiun dini akibat cedera. Bertahun-tahun mereka mendidik anak-anak, dan situasi pun mulai berubah, pada 2006 konflik tidak lagi terjadi dan anak-anak didik Sani pun tumbuh menjadi para pemain muda berbakat.

Naas, masalah kembali menimpa Sani, Rafi diam-diam mendaftarkan anak-anak didik mereka dan mendirikan “Sekolah Sepak Bola Tulehu Putra” tanpa sepengetahuan Sani dan sekolah sepak bola tersebut atas nama Rafi seorang.

Sani yang kecewa, memutuskan tak akan lagi melatih sepak bola untuk anak-anak di kampungnya, Tulehu. Walaupun anak-anak didik mereka meminta agar Sani menjadi pelatih mereka lagi, Sani telah terlanjur kecewa. Permintaan anak didiknya tak dapat ia kabulkan, tak mungkin ada dua matahari dalam satu lapangan.

Tak lama setelah Sani berhenti melatih anak-anak Tulehu, muncul tawaran melatih dari SMK Paso, sebuah sekolah yang terletak di kampung yang merupakan basis agama Kristen, yang juga berkonflik dengan Tulehu beberapa tahun lalu. Namun, Sani menerima tawaran tersebut, berkat rayuan Rudolf, guru olahraga di SMK Paso. Rudolf menilai, Sani selain memiliki kemampuan teknis yang baik, ia juga sangat piawai dalam menaikkan motivasi para pemain.

Walaupun kepala sekolah SMK Paso menolak Sani karena ia adalah seorang muslim itu tak menghalangi Rudolf dalam menggaet Sani.

Sani menerima tawaran tersebut, selain karena kecintaannya pada “Si Kulit Bundar” kini melatih sepak bola dapat menghasilkan rupiah untuk keluarganya. Namun, hal ini ternyata membuat anak didiknya di Tulehu kecewa berat dan menganggap Sani berkhianat. Namun, tidak dengan Salembe dan Alfin Tuasalomony. Keduanya memutuskan bergabung dengan tim Sani yang baru dan meninggalkan Tulehu Putra, mereka hanya mau dilatih oleh Sani.

Waktu pun berjalan baik Tulehu Putra maupun SMK Paso, keduanya bersiap untuk kompetisi Jhon Mailoa Cup. Kompetisi ini mempertemukan tim Rafi dan Tim Sani di babak final, dan tim Rafi (Tulehu Putra) keluar sebagai juara.

Ternyata, kompetisi itu menjadi ajang persiapan untuk kejuaraan nasional U-15 di Jakarta nantinya. Dan Sani terpilih menjadi pelatih kepala untuk tim Maluku, karena ia dinilai mampu mempersatukan pemain Islam dan Kristen.

Persiapan tim Maluku menuju Jakarta bukanlah hal yang mudah. Biaya yang diperlukan sangatlah banyak, namun dana dari PSSI Maluku sangat jauh dari kata cukup. Warga pun berduyun-duyun membantu. Dari Pendeta di Paso, hingga seluruh warga Tulehu membantu mendanai tim ini, namun masih saja kurang, hingga Sani terpaksa menjual kedua kambing pemberian orang tua Haspa, tanpa pengetahuan Haspa.

Sontak hal itu membuat Haspa marah besar. Sehari sebelum keberangkatan Sani ke Jakarta, Haspa pergi meninggalkan Sani untuk pergi ke Ambon, ke rumah orang tuanya. Kemarahan Haspa tak menyurutkan tekad Sani untuk membuat cerita manis bagi Maluku.

Di pertandingan pertama penyisihan grup, Maluku mengalami kekalahan atas tim DKI Jakarta. Parahnya lagi, sesama pemain Maluku berkelahi diruang ganti. Dendam terhadap agama dan perbedaan masih menyelimuti para pemain Maluku.

Sani kecewa berat, hampir saja ia pergi kembali ke Ambon seorang diri. Di pertandingan kedua, lagi-lagi Maluku hampir kalah. Istirahat babak pertama terjadi lagi perkelahian antara sesama pemain Maluku. Sani tak tahan. Ia meluapkan kekesalannya dengan menyoret papan kapur berisi formasi, dengan kata “MALUKU”, seraya berkata:

“Maluku. Kata ini bukan cuma nama tempat. Kata itu ajar katong samua darimana katong berasal. Par apa katong berjuang. KARENA BETA MALUKU! Bukan Tulehu, bukan Paso, Bukan Islam, bukan Kristen”.

Memecahkan keheningan ruang ganti. Kata-kata tersebut menyihir seisi ruangan, para pemain pun menyadari kesalahan mereka. Babak kedua pun dimulai. Permainan Maluku membaik, chemistry mereka mulai terbentuk, para pemain saling merangkul, perbedaan telah sirna, persatuan kini hadir di tim Maluku, membawa mereka memenangkan laga kedua penyisihan grup.
Performa apik Maluku terus berlanjut.

Menghantarkan tim ini hingga ke babak final, menumbuhkan harapan warga Maluku. Di babak final, pertandingan tak berjalan mulus. Mereka tertinggal di babak pertama. Wasit juga berat sebelah dalam memimpin laga.

Beruntung, tekad kuat pantang menyerah dan motivasi tinggi para pemain mampu membawa Maluku menyamakan kedudukan hingga akhirnya Maluku juara lewat babak penghabisan, adu penalti. Berakhir bahagia, sekaligus menjadi cerita manis untuk masyarakat Maluku.

Waktu terus berputar, kini para pemain tersebut sudah menjadi pria dewasa, dan beberapa diantara mereka seperti Alvin Tuasalamony, Rizky Pellu, dan Hendra Adi Bayauw kini telah menjadi pemain professional, dan membela panji Tim Nasional Indonesia. Bahkan Alfin pernah mencicipi berkarir di Liga Eropa, bersama CS Vise, klub asal Belgia.

Sani Tawainella pun kini menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Pendidikan dan Olahraga di Maluku, dan Tulehu, kini dikenal sebagai kampung sepak bola.

Review Film

Mungkin tak banyak film-film Indonesia yang mengambil tema sepakbola. Jika pun ada, beberapa kurang menyentuh dan memberikan kesan mendalam bagi para penontonnya. Namun di film Cahaya dari Timur, penonton akan merasakan pembawaan emosi dari para pemeran. Keaslian benar-benar terasa di film ini.

Terlebih, sang penulis naskah, M. Irfan Ramli dulunya juga menjadi saksi hidup dari konflik agama yang terjadi Maluku. Film ini mampu menyajikan kisah inspiratif yang emosional bagi para penonton di setiap scene yang ada. Permasalahan yang datang akan memaksa para penonton untuk terus menyaksikan dan akan membuat perasaan terlibat di permasalahan-permasalahan yang ada.

Walaupun ini debut Chicco Jerikho di layar lebar, bisa dibilang, ia sukses menjiwai karakter Sani Tawainella. Mendiang Glenn Fredly juga terlibat sebagai cameo di film ini. Keunggulan lain film ini, penggunaan bahasa Maluku secara penuh di setiap adegan, ditambah musik-musik yang “Maluku banget” membuat film ini sangat apik, unik dan juga membuat penonton tertarik mempelajari bahasa Maluku.

Di beberapa kesempatan juga, mendiang Glenn Fredly mengutarakan bahwa, film ini adalah wujud kecintaannya pada sepak bola, dan Maluku. Mungkin ini juga yang menghantarkan film ini meraih banyak penghargaan, mulai dari Piala Citra 2014 di kategori film terbaik, hingga Piala Maya 2014 kategori best feature film. Dilansir dari IMDB, per 13 Juli 2020 film berdurasi 2 jam 31 menit ini mendapat rating 8.2 dari para penonton. Film ini seakan membuktikan, jika kita mengerjakan sesuatu dengan hati ditambah dengan konsistensi, pasti akan menghasilkan prestasi.

Film ini seakan menyadarkan kita, bahwa sekeruh dan sesulit apapun keadaan, percayalah, ada banyak hal positif, ada banyak hal baik yang akan datang, jika kita konsisten dan terus percaya. Percayalah, selalu ada jalan bagi mereka yang mau berusaha. “If there’s a will, there’s a way”.

Motivasi tinggi? Tinggikan!!!

Redaktur Tulisan: Nurul N Sahira Br Lubis


Discover more from SUARA USU

Subscribe to get the latest posts to your email.

Related posts

Munafik, Singel Terbaru Ziva Magnolya: Kita Tak Sekedar Buang Waktu

redaksi

7 Rekomendasi Drama Korea Buat Sobat Kampus Pada Saat Social Distancing

redaksi

Belajar Filsafat Eksistensialisme dari Eren dan Armin Attack on Titan!

redaksi